Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen Pengampu Mata Kuliah Dr. Suranto, M.Pd
Oleh
Nuzulul Khoirunnisa’ (120210302103)
Kelas B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
1. Terbentuknya
Masyarakat Koloni Amerika
Pada
akhir abad ke-17 telah terdapat 250.000 kaum kolonis di wilayah koloni milik
Inggris di Amerika. Pada tahun 1776 jumlah tersebut telah meningkat menjadi 2,5
juta penduduk. Pertumbuhan penduduk yang sepat secara alami dan ditambah dengan
gelombang migrasi Eropa menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam
masyarakat koloni Amerika. Selama periode ini kaum kolonis mengembangkan
struktur sosial yang lebih canggih yang didasarkan atas semangat kapitalisme
perdagangan. Pusat-pusat pemukiman yang berkembang menjadi pusat perdagangan
dan perkotaan seperti Boston, Philadenphia, New York, Charleston dan Boston
menandai bangkitnya koloni Amerika sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia. Pada
tahun 1776 masyarakat koloni Amerika telah berkembang menjadi masyarakat yang
lebih makmur dan majemuk. Namun demikian, menjelang meletusnya Revolusi Amerika
tahun 1776 setiap koloni menampilkan cirinya yang berbeda-beda dan tidak lagi
bisa mempertahankan struktur sosial tradisional. Karena tekanan penduduk maka
setiap koloni berusaha menyelesaikan masalah sosialnya dengan caranya sendiri.
2. Koloni-koloni
di Selatan
Koloni-koloni
di selatan sangat tergantung pada sektor
agrarian. Oleh karena itu tanah memiliki nilai yang sangat
tinggi. Pada akhir abad ke-17 para petani Virginia memusatkan pertaniannya pada
tanaman tembakau sehingga dari kegiatan pertanian tersebut Virginia mampu
menjadi pusat penghasil tembakau
berkualitas tinggi dan menjadi pengekspor komoditi tersebut ke
Inggris. Para petani Virginia lebih memilih menanam tembakau di sepanjang
sungai yang lahannya subur dan memudahkan melakukan pengangkutan dengan
kapal-kapal milik Inggris. Namun demikian, ketika Virginia mengalami kelebihan
produksi koloni ini mengalami kerugian karena harga di pasaran jatuh. Ketika
meletusnya revolusi Amerika, banyak petani Virginia yang terbelit hutang
terhadap para pedagang Inggris.
Dalam
mengembangkan perkebunan tembakau para petani Virginia dihadapkan pada sulitnya
memperoleh tenaga kerja. Pada awal kolonisasi para pengusaha perkebunan
Virginia menggantungkan pad tenaga kerja dari Inggeris yang disebut sebagai
pelayan atau servant.
Namun
demikian lama kelamaan para pelayan tersbut dapat mandiri dan memiliki lahan
sendiri. Untuk mengatasi kesulitan tenaga kerja, pengusaha perkebunan
menggunakan budak negro dari Afrika. Pada pertengahan abad ke-18 perbudakan
merupakan bagian dari sistem sosial di Virginia. Jumlah budak mencapai
sepertiga dari seluruh penduduk Virginia. Elit politik di Virginia yang berasal
dari kalangan aristokrat menguasai tanah yang luas dan mempekerjakan
budak-budak. Secara ekonomi, sistem
perbudakan sangat menguntungkan. Namun demikian, diterapkannya
sistem slavery tersebut tidak selalu berkaitan dengan aspek ekonomi. Sistem
perbudakan yang diterapkan di koloni-koloni Amerika Utara bagian selatan
didasarkan atas pandangan rasial yang dianut oleh sebagian besar- masyarakat
Inggeris pada masa kolonisasi Budak-budak Afrika yang "ditemukan"
melalui "discovery" pada abd ke-15 dan 16 dianggap dan diperlakukan
sebagai ras yang rendah, tidak beragama (Kristen) dan tidak beradab. Namun
demikian, masuknya para budak ke dalam agama Kristen tidak sendirinya mereka
dibebaskan dari statusnya sebagai ras yang dianggap rendah.
Sistem
perbudakan juga diterapkan di South Carolina. Sistem ini diperkuat dengan
kedudukan kaum aristokrat yang menempatkan diri dalam status paling tinggi
dalam struktur masyarakat dan merasa memiliki hak istimewa, termasuk dalam hal
mempekerjakan para budak. Sebagian budak di koloni ini berasal dari West Indies
dan Barbados. Dipekerjakannya para budak di perkebunan-perkebunan mereka juga
digunakan dalam rangka memperluas ekspansi ke arah barat dan untuk
mempertahankan keamanana serta harta mereka dari ancaman orang-orang Indian.
3. Koloni-koloni
Tengah dan Utara
Di koloni bagian tengah kaum
kolonis memusatkan kegiatn ekonominya pada sektor pertanian terutama
biji-bijian, babi dan sapi yang dapat dieskpor ke West Indies. Hasil pertanian
tersebut dapat meningkatkan kemakmuran bukan hanya para petani di daerah
pertanian yang subur melainkan juga para pedagang di perkotaan seperti New York
dan Philadelphia. Namun demikian tidak semua kaum kolonis di daerah itu
memperoleh kemakmuran. Sebagian di antara mereka tetap miskin seperti hainya
ketika hidup di negeri asalnya. Kondisi ini telah menciptakan struktur sosial
baru. Penguasa Inggeris di New York, seperti hainya penguasa Belanda sebelum mereka,
memberikan hak penguasaan tanah kepada tuan-tuan tanah kaya. Sebagian petani
berperan sebagai penyewa terhadap tuan-tuan tanah sehingga terbentuklah kelas
petani penyewa tanah. Sedangkan di perkotaan, selain dihuni oleh golongan
aristokrat dan pedagang juga terdapat kelas pekerja yang tidak memiliki
ketrampilan. Kelompok terakhir ini menempati lapisan sosial paling bawah dan
sulit melakukan mobilitas sosial setelah relasi sosial dengan elit politik dan
pedagang kaya tertutup bagi mereka. Perkawinan anak keluarga elit politik
dengan anak keluarga pedagang pengusaha kaya telah memperkuat aliansi di antara
mereka untuk mengontrol institusi politik daerah koloni.
Di koloni-koloni utara atau
daerah New England, sepereti hainya di daerah tengah dan selatan periode
ekspansi konomi ditandai dengan terbentuknya stratifikasi sosial baru. Namun
demikian, berbeda dengan koloni-koloni di daerah tengah dan selatan,
koloni-koloni utara pada zaman kolonisaasi tidak diikuti dengan gelombang
migrasi susulan dari Eropa dalam jumlah besar. Pertumbuhan penduduk lebih
disebabkan karena jumlah kelahiran daripada migrasi pada daerah yang iklimnya
mirip di Inggeris tersebut. Pertumbuhan penduduk yang cepat tersebut
menyebabkan daya dukung daerah koloni menjadi berkurang. Sebagian penduduk yang
tinggal di perkotan tidak memiliki tempat tinggal yang memadai dan hidup
menganggur. Stratifikasi sosial dengan jelas terlihat di Boston dimana
masyarakat terbagi tiga antara kelompok pedagang aristokrat kaya yang
mendominasi perekonomian daerah koloni pada strata atas, para pekerja perkotaan
menempati strata tengah dan penduduk kota yang miskin pada lapisan bawah,
Kepadatan penduduk dan stratifikasi sosial seperti ini mendorong sebagian
penduduk New England genrasi ketiga dan keempat untuk bermigrasi ke daerah
perawan di belahan barat Amerika Utara untuk mencari pemukiman dan kehidupan
ekonomi baru.
Walaupun
terdapat perbedaan regional di antara daerah-daerah koloni, terdapat persamaan
dalam struktur sosial koloni-koloni Inggeris. Pada pertenghan abad ke-18 elit
local muncul pada semua daerah koloni. Berbeda dengan pemimpin sosial pada abad
sebelumnya, kelompok elit ini menampilkan sikip hormat terhadap kelompok
masyarakat bawah. Walauptm perbedaan status sosial (gap) antara masyarakat
kelas atas dan bawah tidak begitu nampak dalam masyarakat koloni Amerika
dibandingkan dengan di Inggeris, sebagian besar kaum kolonis menyadari
pentingnya menjaga status sosial mereka. Sebagai contoh, College Harvard dan
Yale meranking siswa berdasarkan kedudukan keluarga bukan atas dasar prestasi
belajar. Di kota kota pelabuhan kaum aristokrat pedagang meniru penampilan kaum
aristokrat Inggeris dan membangun rumah dengan gaya kaum aristokrat Inggeris.
Sebagian kecil kaum kolonis dapat meningkatkan status sosialnya sebagai kelas
atas dengan menjadi kelompok kaya. Sebagian besar orang kaya kulit putih masih
mencita-citakan memiliki status sosial lebih tinggi lagi dan oleh karena itu
mereka tidak terlalu mempersoalkan keberadaan stratifikasi sosial. Sebagian
besar kaum kolonis berada dalam status golongan menengah yang memiliki tingkat
kemakmuran yang baik.
Di
daerah koloni-koloni selatan, para petani penanam tembakau mengolah lahannya
sendiri sambil tetap mempekerjakan budak. Sedangkan di New England dan koloni
tengah petani-petani mandiri banyak terdapat di sana dan sebagian di antaranya
tinggal di kota dengan menampilkan gaya hidup golongan menengah. Sebagian besar
golongan bawah jaman kolonial berasal dari kalangan pekerja tepas harian,
pelaut, nelayan yang tidak banyak memiliki harta benda. Masuk ke dalam kelompok
ini juga adalah budak negro, para pelayan serta golongan yang menjadi korban
rasialisme dan diskriminasi ekonomi. Selama abad ke-18 kelompok ini mengalami
kesulitan dalam melakukan mobilitas sosial. Dari kelompok ini pula sering
muncul gerakan sosial yang menentang golongan elit penguasa merkantilisme
ekonomi koloni. Konflik antar golongan sosial seringkali berpengaruh terhadap
timbulnya konflik antar etnis Jerman dengan Skotlandia-Irlandia, Inggeris, Quaker
dan penguasa Anglikan. Sedangkan kerusuhan di perkotaan sering kali disebabkan
karena masalah kriminal, pengangguran dan protes sosial terhadap kemapanan.
Namun demikian, kerusuhan masalah roti (Bread riots) di Boston tahun 1710,1713,
1729, dan kekerasan dalam pemilihan elit politik di Philadelhia tahun 1742,
kerusuhan di New Port dan Norfolk bukan hanya berdimensi sosial melainkan juga
politik. Kekerasan sosial politik tersebut mencapai puncaknya dalam Stamp Act
(1765-1766) dan Pembantaian Boston atau Boston massacre (1771).
4. Kehidupan
Politik Kaum Kolonist (1689-1763)
Pemerintahan
yang berlangsung di daerah koloni Amerika Utara dapat dilihat dalam tiga
tingkat yang berbeda, yaitu di tingkat distrik atau wilayah (counties and
townships), di tingkat koloni dan di tingkat politik imperium. Hubungan
kekuasaan di antara tingkat tersebut menampilkan pola yang unik dalam kehidupan
politik pemerintahan. Walaupun institusi politik di setiap koloni berbeda-beda,
semua koloni menunjukkan sikap penolakan yang sama terhadap kekuasaan negara
induk di Inggeris. Gaya pemerintahan yang diadopsi dari Inggeris digunakan
untuk menentang dominasi Inggeris atas urusan kaum kolonis di Amerika.
Percaturan politik antara ajaran yang dibawa dari Inggeris dengan praktek
politik di daerah koloni mencapai puncaknya dalam pembentukan model ideologi
politik gaya Amerika. Pada sebagian besar daerah koloni, pemerintah lokal merupakan aspek yang paling penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Model pemerintahan lokal yang dibawa dari Inggeris
oleh para pemukim pertama tersebut menyebar ke seluruh daerah koloni.
Pejabat-pejabat
lokal koloni merupakan tokoh politik utama dalam penyelenggaraan daerah koloni.
Mereka dapat mengenakan pajak, mengawasi lalu lintas jalan raya serta
tempat-tempat hiburan (taverns). Sebagian besar warga sangat
menggantungkan pada peran tokoh-tokoh lokal ketika berhadapan dengan aturan
yang dikenakan oleh pemerintah propinsi. Pejabat daerah (county official) dipilih
oleh gubernur dengan calon yang diajukan oleh pejabat lokal. Pemilihan pejabat
lokal dilakukan dengan model pemilu yang diawasi oleh sheriff daerah yang
berperan sebagai oligarki lokal atau pemegang kekuasaan atas daerah
setempat. Hak suara diberikan kepada mereka yang mampu secara materi. Akan
tetapi karena sebagian besar kaum kolonis memiliki tanah maka qualifikasi
penentuan hak suara tersebut dengan mudah dipenuhi, sehingga hampir semua
laku-laki dewasa memperoleh hak pilih. Berbeda dengan keadaan politik lokal,
kehidupari politik di tingkat provinsi (koloni) sering kali ditandai dengan
persaingan yang tajam di antara berbagai faksi elit kolonial untuk memperoleh
kekuatan politik. Konflik tersebut berkaitan dengan struktur koloni yang berada
dibawah pengaruh langsung sistem imperium Inggeris. Gubernur ditunjuk oleh
Mahkota Inggeris yang sering kali didasarkan atas kesetiaannya terhadap
kerajaan dan bukan atas kemampuannya mengelola daerah provinsi.
Seorang
gubernur yang ditunjuk memiliki
kekuasaan eksekutif dan kewenangan untuk mengesahkan hasil sidang parlemen
serta undang-undang kolonial, mengesahkan pemberian tanah, mengepalai komando
militer koloni dan mengawasi pelaksanaan undang-undang navigasi (Navigation Act). Sebagai seorang
pejabat yang mimiliki kewenangan yudikatif, dia juga bisa membubarkan parlemen
koloni, mengawasi pengeluaran anggaran koloni dan memveto undang-undang
provinsi. Selama abad ke 18, Parlemen koloni menentang kewenangan gubernur yang
demikian besar dan mengehendaki agar parlemen koloni memperoleh kewenangannya
dalam urusan koloni. Konflik antara kedua lembaga pemerintahan tersebut sering
kali terjadi di semua daerah koloni. Selain gubernur, terdapat Dewan Koloni (colonial council) terdiri dari 12
orang anggota yang berstatus sebagai lapis kedua dalam tubuh pemerintahan
koloni. Dewan yang tutunjuk oleh Mahkota Ingeris dan direkomendasi oleh
guberbur itu memiliki peran sebagai penasehat gubernur dalam bidang pmerintahan
dan serta yudikatif. Anggota dewan terdiri dari kelompok elit kolonial yang
kaya dan berpengaruh. Pada umumnya mereka sangat mendukung semua kebijaksanaan
gubernur, walaupun dalam beberapa aspek mereka juga tidak selalu mendukung kebijaksanaan
gubernur.
Pada
awal abad ke-18, Dewan Kolonial (colonial
council} digandi dengan Majelis Koloni
(colonial Assembly) dan mengambil
alih peran prerogatif gubernur. Walaupun anggota majelis tersebut berasal dari
elit provinsi mereka sering kali tidak memiliki ikatan politik dengan gubernur
sehingga berusaha melemahkannnya. Sebagian besar anggota majelis berasal dari
"kelompok luar" yang basisnya terletak pada pemerintahan lokal, bukan
provinsi. Mereka berusaha mewakili daerahnya untuk duduk dalam elit politik
provinsi. Pada semua daerah koloni, angota majelis sering kali bertikai dengan
gubernur mengenai masalah pajak, pembagian tanah, sistem perwakilan dalam
majelis, pengeluaran angaran negara, perdagangan Indian, serta pertahanan
daerah koloni. Persaingan tersebut didasarkan atas usaha mereka memperoleh hak
yang lebih besar sebagai lembaga yang mewakili daerah pemilihan masing-masing
dan untuk membawa aspirasi daerah.
Sikap
agresif anggota majelis Koloni terjadi bukan karena peran legislatifhya
melainkan karena sikap menentang mereka terhadap pemerintahan imperium Inggris. Sepanjang jaman
kolonisasi, kaum kolonis Amerika menunjukkan sikap tidak senangnya terhadap
struktur birokrasi imperium Inggeris. Gubernur yang ditunjuk oleh mahkota
Inggris dianggap sebagai simbol absolutisme dan monarki yang hams dilawan. Kaum
kolonis tidak menyukai adanya Dewan Perdagangan dan Perkebunan Inggeris
(didirikan tahun 1696) yang mengawasi urusan koloni melalui tangan gubernur.
Model pemerintahan jarak jauh (dari Inggris) dianggap oleh kaum kolonis sebagai
tidak cocok dan tidak efisien. Beberapa
kebijaksanan Inggris terhadap urusan koloni di antaranya meliputi urusan
bea cukai barang-barang yang keluar dan masuk daerah koloni yang berada di
bawah pengawasan menteri luar negeri, hukum perdagangan Inggeris yang
diberlakukan atas daerah koloni, serta Dewan
Privi (rahasia) yang diberi kewenangan mengesahkan dan
penunjukkan anggota dewan koloni atas nama raja Inggeris. Terakhir, Parlemen
Inggris yang merasa bertanggungjawab atas urusan daerah koloni memiliki
kewenangan untuk mengesahkan undang-undang yang berkaiatan beberapa aspek
urusan daerah koloni seperti Undang-undang navigasi. Di bawah imperium Inggris,
koloni-koloni Amerika yang telah membangun dirinya sesuai dengan karakteristik
daerah baru tidak memiliki kebebasan dalam penyelengaraan kehidupan ekonomi dan
politiknya. Di bawah udang-undang navigasi, daerah koloni dilarang untuk
melakukan perdagangan luar negeri. Perdagangan hanya dilakukan menurut sistem
Inggeris dan dengan menggunakan kapal-kapal milik Inggris. Demikian juga ketika
Virginia mencoba mengatasi kelebihan produksi tembakau dengan melarang perdagangan
budak diveto oleh Dewan Privi dengan mengatakan bahwa hanya parlemen Inggeris
yang berhak membuat undang-undang mengenai perdagangan di daerah koloni. Pada
tahun 1741, daerah-daerah koloni tidak bisa menggunakan dan mencetak mata
uangnya sendiri setelah Inggeris mengeluarkan Undang-undang Keuangan.
5. Peperangan
Untuk Imperium Inggeris
Walaupun
daerah-daerah koloni Amerika tidak menyukai kebijaksanaan Inggeris dalam urusan
Amerika, mereka mengakui bahwa urusan luar negeri dan perjanjian internasional
merupakan urusan negeri induk, Inggeris. Antara tahun 1689-1763 sejumlah perang
antara Inggeris dengan Perancis dan Spanyol melibatkan daerah-daerah koloni di
Amerika. Adanya permusuhan orang-orang Indian serta dan ancaman militer
orang-orang Perancis di Amerika menimbulkan rasa tidak aman di kalangan kaum
kolonis dan oleh karena itu mereka sangat tergantung pada kekuatan militer
Inggeris. Beberapa perang yang melihatkan daerah koloni di antaranya adalah:
Pertama, perang Inggris-Perancis di
daratan Eropa dan daerah koloni di West Indies, New England, New France, dan
New England. Perselisihan perbatasan juga terjadi antara daerah koloni Amerika
dengan daerah Icoloni Perancis di Quebec. Perang yang berlangsung antara tahun
1689-1697 (dikenal di Amerika sebagai Perang Raja William) tersebut
terjadi setelah pengangkatan William of Orange, seorang pangeran dari Belanda,
ke dalam tahta Inggeris setelah terjadinya Revolusi Gregorius (1688-1689).
Raja baru Inggeris itu sangat menentang sikap ekspansif raja Perancis, Louis
XIV.
Perang
terjadi di daratan Eropa dan di Amerika setelah kepentingan daerah koloni
Amerika terancam oleh pasukan Perancis. Perang kedua antara kedua negara dan
yang melibatkan Spanyol terjadi setelah Louis XIV menempatkan cucunya ke dalam
tahta Spanyol yang dianggap oleh Inggeris sebagai upaya untuk mengancam ballance
of power atau perimbangan kekuatan Eropa. Perang yang dikenal di Amerika
sebagai Perang Ratu Anne (1701-1713) tersebut melibatkan daerah-daerah
koloni di Amerika setelah Perancis menyerang New England dan Spanyol menyerang
Carolina Selatan dari Florida. Perjanjian Utrecht (1713) mengakhiri
perang tersebut dengan pengakuan Perancis atas kemenangan Inggeris di Eropa
serta penyerahan Newfoundland Perancis, Nova Scotia dan Hudson Bay di Amerika
terhadap Inggeris. Perang Ketiga terjadi pada tahun 1739 melibatkan Spanyol dengan Inggris dan
daerah koloni dalam persaingan memperebutkan hak dagang West Indies dan klaim
wilayah antara Georgia dan Florida Barat yang dimiliki Spanyol. Perang lebih
besar terjadi antara tahun 1744-1748, yang dikenal di Amerika sebagai Perang
Raja George memperebutkan daerah Sungai Lawrence antara Inggeris dan
Perancis. Perang tersebut diakhiri dalam Perjanjian Aix-la-Chapelle (1748).
Perang
lain antara Perancis dan Inggeris terjadi antara tahun 1754-1763 yang dikenal
sebagai perang tujuh tahun. Perang tersebut sebenarnya dimulai tahun
1748 di lembah Sungai Ohio setelah Perancis berusaha mendirikan jaringan koloni
dari Quebec di Utara dan Carolina di Selatan. Politik tersebut tentu saja
ditentang oleh kaum kolonis Amerika. Perang yang kemudian melibatkan Inggeris
tersebut dimenangkan oleh pasukan Perancis. Kaum kolonis menyadari bahwa
bantuan militer Inggeris tidak bisa diharapkan lagi. Oleh karena itu beberapa
koloni Amerika seperti New England, New York, Pennsylvania dan Maryland dalam
Kongres di Albany tahun 1754 sepakat untuk membentuk Grand Union yang
anggota-angotanya terdiri dari delegasi majelis provinsi. Rencana yang diajukan
oleh Benjamin Franklin dengan tujuan untuk membentuk persatuan di antara daerah
koloni agar mampu mengurus masalah-masalah mereka tanpa bantuan Inggeris itu
tidak bisa direalisasikan.
Majelis
provinsi menolak rencana tersebut. Ketika kaum kolonis sibuk mempersoalkan
masalah politik, pasukan Inggeris mengalami kekalahan di berbagai tempat antara
tahun 1754-1757. Daerah Niagara, Crown Point, Oswego, Ticonderoga, Pelabuhan
William Henry dan Louisbourg jatuh ke tangan Perancis. Namun demikian, pada
tahun 1757, setelah pemerintah Inggeris di Amerika dipegang oleh William Pitt,
pasukan Inggeris mulai memperoleh kemenangan. Di bawah pimpinan Jenderal John
Forbes dan Lord Amherst, pasukan Inggeris merebut kembaii daerah-daerah yang
diduduki Perancis. Perang kedua negara diakhiri dalam Perjanjian Paris
(1763) dimana Perancis menyerahkan semua daerah koloninya di Amerika Utara,
kecuali dua pulau di West Indies. Perang Tujuh Tahun memberi dampak positif
bagi koloni-koloni Amerika dan berpengaruh terhadap meletusnya perang
kemerdekaan. Kaum kolonis menyadari bahwa mereka memiliki sumberdaya alam dan
manusia yang besar serta mampu mensuplai kebutuhan militer terhadap pasukan
Inggeris. Kemenangan atas Francis, walaupun atas dukungan Inggeris, memberi
mereka rasa percaya diri yang besar untuk berdiri sebagai koloni yang
berdaulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar