Rabu, 11 Juni 2014

RESUME KEHIDUPAN KOLONI-KOLONI DI AMERIKA





       
 










Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen Pengampu Mata Kuliah Dr. Suranto, M.Pd





Oleh
Nuzulul Khoirunnisa’ (120210302103)
Kelas B



  

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014



1.           Terbentuknya Masyarakat Koloni Amerika
Pada akhir abad ke-17 telah terdapat 250.000 kaum kolonis di wilayah koloni milik Inggris di Amerika. Pada tahun 1776 jumlah tersebut telah meningkat menjadi 2,5 juta penduduk. Pertumbuhan penduduk yang sepat secara alami dan ditambah dengan gelombang migrasi Eropa menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat koloni Amerika. Selama periode ini kaum kolonis mengembangkan struktur sosial yang lebih canggih yang didasarkan atas semangat kapitalisme perdagangan. Pusat-pusat pemukiman yang berkembang menjadi pusat perdagangan dan perkotaan seperti Boston, Philadenphia, New York, Charleston dan Boston menandai bangkitnya koloni Amerika sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia. Pada tahun 1776 masyarakat koloni Amerika telah berkembang menjadi masyarakat yang lebih makmur dan majemuk. Namun demikian, menjelang meletusnya Revolusi Amerika tahun 1776 setiap koloni menampilkan cirinya yang berbeda-beda dan tidak lagi bisa mempertahankan struktur sosial tradisional. Karena tekanan penduduk maka setiap koloni berusaha menyelesaikan masalah sosialnya dengan caranya sendiri.

2.           Koloni-koloni di Selatan
Koloni-koloni di selatan sangat tergantung pada sektor agrarian. Oleh karena itu tanah memiliki nilai yang sangat tinggi. Pada akhir abad ke-17 para petani Virginia memusatkan pertaniannya pada tanaman tembakau sehingga dari kegiatan pertanian tersebut Virginia mampu menjadi pusat penghasil tembakau berkualitas tinggi dan menjadi pengekspor komoditi tersebut ke Inggris. Para petani Virginia lebih memilih menanam tembakau di sepanjang sungai yang lahannya subur dan memudahkan melakukan pengangkutan dengan kapal-kapal milik Inggris. Namun demikian, ketika Virginia mengalami kelebihan produksi koloni ini mengalami kerugian karena harga di pasaran jatuh. Ketika meletusnya revolusi Amerika, banyak petani Virginia yang terbelit hutang terhadap para pedagang Inggris.
Dalam mengembangkan perkebunan tembakau para petani Virginia dihadapkan pada sulitnya memperoleh tenaga kerja. Pada awal kolonisasi para pengusaha perkebunan Virginia menggantungkan pad tenaga kerja dari Inggeris yang disebut sebagai pelayan atau servant.
Namun demikian lama kelamaan para pelayan tersbut dapat mandiri dan memiliki lahan sendiri. Untuk mengatasi kesulitan tenaga kerja, pengusaha perkebunan menggunakan budak negro dari Afrika. Pada pertengahan abad ke-18 perbudakan merupakan bagian dari sistem sosial di Virginia. Jumlah budak mencapai sepertiga dari seluruh penduduk Virginia. Elit politik di Virginia yang berasal dari kalangan aristokrat menguasai tanah yang luas dan mempekerjakan budak-budak. Secara ekonomi, sistem perbudakan sangat menguntungkan. Namun demikian, diterapkannya sistem slavery tersebut tidak selalu berkaitan dengan aspek ekonomi. Sistem perbudakan yang diterapkan di koloni-koloni Amerika Utara bagian selatan didasarkan atas pandangan rasial yang dianut oleh sebagian besar- masyarakat Inggeris pada masa kolonisasi Budak-budak Afrika yang "ditemukan" melalui "discovery" pada abd ke-15 dan 16 dianggap dan diperlakukan sebagai ras yang rendah, tidak beragama (Kristen) dan tidak beradab. Namun demikian, masuknya para budak ke dalam agama Kristen tidak sendirinya mereka dibebaskan dari statusnya sebagai ras yang dianggap rendah.
Sistem perbudakan juga diterapkan di South Carolina. Sistem ini diperkuat dengan kedudukan kaum aristokrat yang menempatkan diri dalam status paling tinggi dalam struktur masyarakat dan merasa memiliki hak istimewa, termasuk dalam hal mempekerjakan para budak. Sebagian budak di koloni ini berasal dari West Indies dan Barbados. Dipekerjakannya para budak di perkebunan-perkebunan mereka juga digunakan dalam rangka memperluas ekspansi ke arah barat dan untuk mempertahankan keamanana serta harta mereka dari ancaman orang-orang Indian.

3.           Koloni-koloni Tengah dan Utara
Di koloni bagian tengah kaum kolonis memusatkan kegiatn ekonominya pada sektor pertanian terutama biji-bijian, babi dan sapi yang dapat dieskpor ke West Indies. Hasil pertanian tersebut dapat meningkatkan kemakmuran bukan hanya para petani di daerah pertanian yang subur melainkan juga para pedagang di perkotaan seperti New York dan Philadelphia. Namun demikian tidak semua kaum kolonis di daerah itu memperoleh kemakmuran. Sebagian di antara mereka tetap miskin seperti hainya ketika hidup di negeri asalnya. Kondisi ini telah menciptakan struktur sosial baru. Penguasa Inggeris di New York, seperti hainya penguasa Belanda sebelum mereka, memberikan hak penguasaan tanah kepada tuan-tuan tanah kaya. Sebagian petani berperan sebagai penyewa terhadap tuan-tuan tanah sehingga terbentuklah kelas petani penyewa tanah. Sedangkan di perkotaan, selain dihuni oleh golongan aristokrat dan pedagang juga terdapat kelas pekerja yang tidak memiliki ketrampilan. Kelompok terakhir ini menempati lapisan sosial paling bawah dan sulit melakukan mobilitas sosial setelah relasi sosial dengan elit politik dan pedagang kaya tertutup bagi mereka. Perkawinan anak keluarga elit politik dengan anak keluarga pedagang pengusaha kaya telah memperkuat aliansi di antara mereka untuk mengontrol institusi politik daerah koloni.
Di koloni-koloni utara atau daerah New England, sepereti hainya di daerah tengah dan selatan periode ekspansi konomi ditandai dengan terbentuknya stratifikasi sosial baru. Namun demikian, berbeda dengan koloni-koloni di daerah tengah dan selatan, koloni-koloni utara pada zaman kolonisaasi tidak diikuti dengan gelombang migrasi susulan dari Eropa dalam jumlah besar. Pertumbuhan penduduk lebih disebabkan karena jumlah kelahiran daripada migrasi pada daerah yang iklimnya mirip di Inggeris tersebut. Pertumbuhan penduduk yang cepat tersebut menyebabkan daya dukung daerah koloni menjadi berkurang. Sebagian penduduk yang tinggal di perkotan tidak memiliki tempat tinggal yang memadai dan hidup menganggur. Stratifikasi sosial dengan jelas terlihat di Boston dimana masyarakat terbagi tiga antara kelompok pedagang aristokrat kaya yang mendominasi perekonomian daerah koloni pada strata atas, para pekerja perkotaan menempati strata tengah dan penduduk kota yang miskin pada lapisan bawah, Kepadatan penduduk dan stratifikasi sosial seperti ini mendorong sebagian penduduk New England genrasi ketiga dan keempat untuk bermigrasi ke daerah perawan di belahan barat Amerika Utara untuk mencari pemukiman dan kehidupan ekonomi baru.
Walaupun terdapat perbedaan regional di antara daerah-daerah koloni, terdapat persamaan dalam struktur sosial koloni-koloni Inggeris. Pada pertenghan abad ke-18 elit local muncul pada semua daerah koloni. Berbeda dengan pemimpin sosial pada abad sebelumnya, kelompok elit ini menampilkan sikip hormat terhadap kelompok masyarakat bawah. Walauptm perbedaan status sosial (gap) antara masyarakat kelas atas dan bawah tidak begitu nampak dalam masyarakat koloni Amerika dibandingkan dengan di Inggeris, sebagian besar kaum kolonis menyadari pentingnya menjaga status sosial mereka. Sebagai contoh, College Harvard dan Yale meranking siswa berdasarkan kedudukan keluarga bukan atas dasar prestasi belajar. Di kota kota pelabuhan kaum aristokrat pedagang meniru penampilan kaum aristokrat Inggeris dan membangun rumah dengan gaya kaum aristokrat Inggeris. Sebagian kecil kaum kolonis dapat meningkatkan status sosialnya sebagai kelas atas dengan menjadi kelompok kaya. Sebagian besar orang kaya kulit putih masih mencita-citakan memiliki status sosial lebih tinggi lagi dan oleh karena itu mereka tidak terlalu mempersoalkan keberadaan stratifikasi sosial. Sebagian besar kaum kolonis berada dalam status golongan menengah yang memiliki tingkat kemakmuran yang baik.
Di daerah koloni-koloni selatan, para petani penanam tembakau mengolah lahannya sendiri sambil tetap mempekerjakan budak. Sedangkan di New England dan koloni tengah petani-petani mandiri banyak terdapat di sana dan sebagian di antaranya tinggal di kota dengan menampilkan gaya hidup golongan menengah. Sebagian besar golongan bawah jaman kolonial berasal dari kalangan pekerja tepas harian, pelaut, nelayan yang tidak banyak memiliki harta benda. Masuk ke dalam kelompok ini juga adalah budak negro, para pelayan serta golongan yang menjadi korban rasialisme dan diskriminasi ekonomi. Selama abad ke-18 kelompok ini mengalami kesulitan dalam melakukan mobilitas sosial. Dari kelompok ini pula sering muncul gerakan sosial yang menentang golongan elit penguasa merkantilisme ekonomi koloni. Konflik antar golongan sosial seringkali berpengaruh terhadap timbulnya konflik antar etnis Jerman dengan Skotlandia-Irlandia, Inggeris, Quaker dan penguasa Anglikan. Sedangkan kerusuhan di perkotaan sering kali disebabkan karena masalah kriminal, pengangguran dan protes sosial terhadap kemapanan. Namun demikian, kerusuhan masalah roti (Bread riots) di Boston tahun 1710,1713, 1729, dan kekerasan dalam pemilihan elit politik di Philadelhia tahun 1742, kerusuhan di New Port dan Norfolk bukan hanya berdimensi sosial melainkan juga politik. Kekerasan sosial politik tersebut mencapai puncaknya dalam Stamp Act (1765-1766) dan Pembantaian Boston atau Boston massacre (1771).

4.           Kehidupan Politik Kaum Kolonist (1689-1763)
Pemerintahan yang berlangsung di daerah koloni Amerika Utara dapat dilihat dalam tiga tingkat yang berbeda, yaitu di tingkat distrik atau wilayah (counties and townships), di tingkat koloni dan di tingkat politik imperium. Hubungan kekuasaan di antara tingkat tersebut menampilkan pola yang unik dalam kehidupan politik pemerintahan. Walaupun institusi politik di setiap koloni berbeda-beda, semua koloni menunjukkan sikap penolakan yang sama terhadap kekuasaan negara induk di Inggeris. Gaya pemerintahan yang diadopsi dari Inggeris digunakan untuk menentang dominasi Inggeris atas urusan kaum kolonis di Amerika. Percaturan politik antara ajaran yang dibawa dari Inggeris dengan praktek politik di daerah koloni mencapai puncaknya dalam pembentukan model ideologi politik gaya Amerika. Pada sebagian besar daerah koloni, pemerintah lokal merupakan aspek yang paling penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Model pemerintahan lokal yang dibawa dari Inggeris oleh para pemukim pertama tersebut menyebar ke seluruh daerah koloni.
Pejabat-pejabat lokal koloni merupakan tokoh politik utama dalam penyelenggaraan daerah koloni. Mereka dapat mengenakan pajak, mengawasi lalu lintas jalan raya serta tempat-tempat hiburan (taverns). Sebagian besar warga sangat menggantungkan pada peran tokoh-tokoh lokal ketika berhadapan dengan aturan yang dikenakan oleh pemerintah propinsi. Pejabat daerah (county official) dipilih oleh gubernur dengan calon yang diajukan oleh pejabat lokal. Pemilihan pejabat lokal dilakukan dengan model pemilu yang diawasi oleh sheriff daerah yang berperan sebagai oligarki lokal atau pemegang kekuasaan atas daerah setempat. Hak suara diberikan kepada mereka yang mampu secara materi. Akan tetapi karena sebagian besar kaum kolonis memiliki tanah maka qualifikasi penentuan hak suara tersebut dengan mudah dipenuhi, sehingga hampir semua laku-laki dewasa memperoleh hak pilih. Berbeda dengan keadaan politik lokal, kehidupari politik di tingkat provinsi (koloni) sering kali ditandai dengan persaingan yang tajam di antara berbagai faksi elit kolonial untuk memperoleh kekuatan politik. Konflik tersebut berkaitan dengan struktur koloni yang berada dibawah pengaruh langsung sistem imperium Inggeris. Gubernur ditunjuk oleh Mahkota Inggeris yang sering kali didasarkan atas kesetiaannya terhadap kerajaan dan bukan atas kemampuannya mengelola daerah provinsi.
Seorang gubernur yang ditunjuk memiliki kekuasaan eksekutif dan kewenangan untuk mengesahkan hasil sidang parlemen serta undang-undang kolonial, mengesahkan pemberian tanah, mengepalai komando militer koloni dan mengawasi pelaksanaan undang-undang navigasi (Navigation Act). Sebagai seorang pejabat yang mimiliki kewenangan yudikatif, dia juga bisa membubarkan parlemen koloni, mengawasi pengeluaran anggaran koloni dan memveto undang-undang provinsi. Selama abad ke 18, Parlemen koloni menentang kewenangan gubernur yang demikian besar dan mengehendaki agar parlemen koloni memperoleh kewenangannya dalam urusan koloni. Konflik antara kedua lembaga pemerintahan tersebut sering kali terjadi di semua daerah koloni. Selain gubernur, terdapat Dewan Koloni (colonial council) terdiri dari 12 orang anggota yang berstatus sebagai lapis kedua dalam tubuh pemerintahan koloni. Dewan yang tutunjuk oleh Mahkota Ingeris dan direkomendasi oleh guberbur itu memiliki peran sebagai penasehat gubernur dalam bidang pmerintahan dan serta yudikatif. Anggota dewan terdiri dari kelompok elit kolonial yang kaya dan berpengaruh. Pada umumnya mereka sangat mendukung semua kebijaksanaan gubernur, walaupun dalam beberapa aspek mereka juga tidak selalu mendukung kebijaksanaan gubernur.
Pada awal abad ke-18, Dewan Kolonial (colonial council} digandi dengan Majelis Koloni (colonial Assembly) dan mengambil alih peran prerogatif gubernur. Walaupun anggota majelis tersebut berasal dari elit provinsi mereka sering kali tidak memiliki ikatan politik dengan gubernur sehingga berusaha melemahkannnya. Sebagian besar anggota majelis berasal dari "kelompok luar" yang basisnya terletak pada pemerintahan lokal, bukan provinsi. Mereka berusaha mewakili daerahnya untuk duduk dalam elit politik provinsi. Pada semua daerah koloni, angota majelis sering kali bertikai dengan gubernur mengenai masalah pajak, pembagian tanah, sistem perwakilan dalam majelis, pengeluaran angaran negara, perdagangan Indian, serta pertahanan daerah koloni. Persaingan tersebut didasarkan atas usaha mereka memperoleh hak yang lebih besar sebagai lembaga yang mewakili daerah pemilihan masing-masing dan untuk membawa aspirasi daerah.
Sikap agresif anggota majelis Koloni terjadi bukan karena peran legislatifhya melainkan karena sikap menentang mereka terhadap pemerintahan imperium Inggris. Sepanjang jaman kolonisasi, kaum kolonis Amerika menunjukkan sikap tidak senangnya terhadap struktur birokrasi imperium Inggeris. Gubernur yang ditunjuk oleh mahkota Inggris dianggap sebagai simbol absolutisme dan monarki yang hams dilawan. Kaum kolonis tidak menyukai adanya Dewan Perdagangan dan Perkebunan Inggeris (didirikan tahun 1696) yang mengawasi urusan koloni melalui tangan gubernur. Model pemerintahan jarak jauh (dari Inggris) dianggap oleh kaum kolonis sebagai tidak cocok dan tidak efisien. Beberapa kebijaksanan Inggris terhadap urusan koloni di antaranya meliputi urusan bea cukai barang-barang yang keluar dan masuk daerah koloni yang berada di bawah pengawasan menteri luar negeri, hukum perdagangan Inggeris yang diberlakukan atas daerah koloni, serta Dewan Privi (rahasia) yang diberi kewenangan mengesahkan dan penunjukkan anggota dewan koloni atas nama raja Inggeris. Terakhir, Parlemen Inggris yang merasa bertanggungjawab atas urusan daerah koloni memiliki kewenangan untuk mengesahkan undang-undang yang berkaiatan beberapa aspek urusan daerah koloni seperti Undang-undang navigasi. Di bawah imperium Inggris, koloni-koloni Amerika yang telah membangun dirinya sesuai dengan karakteristik daerah baru tidak memiliki kebebasan dalam penyelengaraan kehidupan ekonomi dan politiknya. Di bawah udang-undang navigasi, daerah koloni dilarang untuk melakukan perdagangan luar negeri. Perdagangan hanya dilakukan menurut sistem Inggeris dan dengan menggunakan kapal-kapal milik Inggris. Demikian juga ketika Virginia mencoba mengatasi kelebihan produksi tembakau dengan melarang perdagangan budak diveto oleh Dewan Privi dengan mengatakan bahwa hanya parlemen Inggeris yang berhak membuat undang-undang mengenai perdagangan di daerah koloni. Pada tahun 1741, daerah-daerah koloni tidak bisa menggunakan dan mencetak mata uangnya sendiri setelah Inggeris mengeluarkan Undang-undang Keuangan.

5.            Peperangan Untuk Imperium Inggeris
Walaupun daerah-daerah koloni Amerika tidak menyukai kebijaksanaan Inggeris dalam urusan Amerika, mereka mengakui bahwa urusan luar negeri dan perjanjian internasional merupakan urusan negeri induk, Inggeris. Antara tahun 1689-1763 sejumlah perang antara Inggeris dengan Perancis dan Spanyol melibatkan daerah-daerah koloni di Amerika. Adanya permusuhan orang-orang Indian serta dan ancaman militer orang-orang Perancis di Amerika menimbulkan rasa tidak aman di kalangan kaum kolonis dan oleh karena itu mereka sangat tergantung pada kekuatan militer Inggeris. Beberapa perang yang melihatkan daerah koloni di antaranya adalah: Pertama, perang Inggris-Perancis di daratan Eropa dan daerah koloni di West Indies, New England, New France, dan New England. Perselisihan perbatasan juga terjadi antara daerah koloni Amerika dengan daerah Icoloni Perancis di Quebec. Perang yang berlangsung antara tahun 1689-1697 (dikenal di Amerika sebagai Perang Raja William) tersebut terjadi setelah pengangkatan William of Orange, seorang pangeran dari Belanda, ke dalam tahta Inggeris setelah terjadinya Revolusi Gregorius (1688-1689). Raja baru Inggeris itu sangat menentang sikap ekspansif raja Perancis, Louis XIV.
Perang terjadi di daratan Eropa dan di Amerika setelah kepentingan daerah koloni Amerika terancam oleh pasukan Perancis. Perang kedua antara kedua negara dan yang melibatkan Spanyol terjadi setelah Louis XIV menempatkan cucunya ke dalam tahta Spanyol yang dianggap oleh Inggeris sebagai upaya untuk mengancam ballance of power atau perimbangan kekuatan Eropa. Perang yang dikenal di Amerika sebagai Perang Ratu Anne (1701-1713) tersebut melibatkan daerah-daerah koloni di Amerika setelah Perancis menyerang New England dan Spanyol menyerang Carolina Selatan dari Florida. Perjanjian Utrecht (1713) mengakhiri perang tersebut dengan pengakuan Perancis atas kemenangan Inggeris di Eropa serta penyerahan Newfoundland Perancis, Nova Scotia dan Hudson Bay di Amerika terhadap Inggeris. Perang Ketiga terjadi pada tahun 1739 melibatkan Spanyol dengan Inggris dan daerah koloni dalam persaingan memperebutkan hak dagang West Indies dan klaim wilayah antara Georgia dan Florida Barat yang dimiliki Spanyol. Perang lebih besar terjadi antara tahun 1744-1748, yang dikenal di Amerika sebagai Perang Raja George memperebutkan daerah Sungai Lawrence antara Inggeris dan Perancis. Perang tersebut diakhiri dalam Perjanjian Aix-la-Chapelle (1748).
Perang lain antara Perancis dan Inggeris terjadi antara tahun 1754-1763 yang dikenal sebagai perang tujuh tahun. Perang tersebut sebenarnya dimulai tahun 1748 di lembah Sungai Ohio setelah Perancis berusaha mendirikan jaringan koloni dari Quebec di Utara dan Carolina di Selatan. Politik tersebut tentu saja ditentang oleh kaum kolonis Amerika. Perang yang kemudian melibatkan Inggeris tersebut dimenangkan oleh pasukan Perancis. Kaum kolonis menyadari bahwa bantuan militer Inggeris tidak bisa diharapkan lagi. Oleh karena itu beberapa koloni Amerika seperti New England, New York, Pennsylvania dan Maryland dalam Kongres di Albany tahun 1754 sepakat untuk membentuk Grand Union yang anggota-angotanya terdiri dari delegasi majelis provinsi. Rencana yang diajukan oleh Benjamin Franklin dengan tujuan untuk membentuk persatuan di antara daerah koloni agar mampu mengurus masalah-masalah mereka tanpa bantuan Inggeris itu tidak bisa direalisasikan.
Majelis provinsi menolak rencana tersebut. Ketika kaum kolonis sibuk mempersoalkan masalah politik, pasukan Inggeris mengalami kekalahan di berbagai tempat antara tahun 1754-1757. Daerah Niagara, Crown Point, Oswego, Ticonderoga, Pelabuhan William Henry dan Louisbourg jatuh ke tangan Perancis. Namun demikian, pada tahun 1757, setelah pemerintah Inggeris di Amerika dipegang oleh William Pitt, pasukan Inggeris mulai memperoleh kemenangan. Di bawah pimpinan Jenderal John Forbes dan Lord Amherst, pasukan Inggeris merebut kembaii daerah-daerah yang diduduki Perancis. Perang kedua negara diakhiri dalam Perjanjian Paris (1763) dimana Perancis menyerahkan semua daerah koloninya di Amerika Utara, kecuali dua pulau di West Indies. Perang Tujuh Tahun memberi dampak positif bagi koloni-koloni Amerika dan berpengaruh terhadap meletusnya perang kemerdekaan. Kaum kolonis menyadari bahwa mereka memiliki sumberdaya alam dan manusia yang besar serta mampu mensuplai kebutuhan militer terhadap pasukan Inggeris. Kemenangan atas Francis, walaupun atas dukungan Inggeris, memberi mereka rasa percaya diri yang besar untuk berdiri sebagai koloni yang berdaulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar