Rabu, 11 Juni 2014

KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBENTUKAN DAN PEMBANGUNAN NEGARA INDONESIA





 









Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen Pengampu Mata Kuliah Dr. Suranto, M.Pd



Oleh
Nuzulul Khoirunnisa’ (120210302103)
Kelas B



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

 

BAB 1 PENDAHULUAN


1.1.       Latar Belakang
Keterlibatan Amerika Serikat dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia dalam makalah ini antara lain meliputi dalam hal keterlibatan Amerika Serikat dalam perpolitikan di Indonesia.  Selanjutnya mengenai keterlibatan CIA (Amerika Serikat) dalam pemberontakan di Indonesia tepatnya pada PRRI/ Permesta.  Keterlibatan AmerikaSerikat lainnya dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia yaitu Amerika Serikat yang juga terlibat dalam kasus pembebasan irian Barat.  Keterlibatan Amerika Serikat dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia yang terakhir yaitu keterlibatan Amerika Serikat dalam Peristiwa G30s pada tahun 1965.
Pada intervensi politik Amerika Serikat masa revolusi kemerdekaan Indonesia ditandai dengan sebuah perundingan diplomatik pertama antara Indonesia dan Belanda yang kemudian dinamakan perundingan Linggajati.  Isi kesepakatan perundingan Linggajati adalah Belanda dan Indonesia membentuk negara federal dengan Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagiannya, Indonesia dan Belanda mendirikan uni Indonesia-Belanda dan penyempitan wilayah Republik Indonesia menjadi Sumatera, Jawa dan Madura.  Bagi Indonesia hasil perundingan itu sangat mengecewakan, sedangkan bagi Belanda merupakan kemenangan awal sebelum sampai pada tujuan utamanya menguasai seluruh bagian bekas tanah jajahan Hindia Belanda.  Menarik untuk diketahui bagaimana tanggapan Amerika Serikat akan hasil perundingan yang menguntungkan Belanda tersebut. 
Intervensi Amerika Serikat (CIA) dalam pemberontakan di Indonesia tepatnya pemberontakan PRRI/Permesta, Amerika Serikat menurunkan kekuatan yang tidak main-main.  CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan Amerika Serikat Subic & Clark), Taiwan dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak.  Dari Singapura, pejabat Konsulat Amerika Serikat yang berkedudukan di Medan dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro dan Letkol Ventje Soemoeal.  Malam hari, 7 Desember 1957 Panglima Operasi Angakatan Laut Amerika Serikat, Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific), Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun.  Satu divisi pasukan elit Amerika Serikat, US-Marine di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut.  Dalih Amerika Serikat pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak Amerika Serikat, Caltex di Pekanbaru, Riau.
Intervensi Amerika Serikat dalam kasus pembebasan Irian Barat diawali dari adanya kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di berbagai negara di Asia, temasuk Indonesia.  Kemudian dengan adanya kemampuan dari Amerika Serikat dalam hal militer dan juga perekonomian itu sendiri memberikan kekuasaan terhadap negara-negara yang dianggapnya dapat diperoleh kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral.  Berbagai hubungan Amerika Serikat-Indonesia yang pada mulanya dilakukan oleh Amerika Serikat berawal dari adanya insiden antara awak kapal perang Potomac dengan penduduk Kuala Batu di Aceh.  Kemudian berlanjut menjadi adanya indikasi keterlibatan Amerika Serikat dalam operasi Trikora yang menurut Amerika Serikat itu sendiri adalah upaya pribadi Soekarno yang merusak tatanan perdamaian dan kesejahteraan dunia yang kemudian dibentuknya opini dunia oleh Amerika Serikat itu sendiri.  Di mana pada masa pasca Perang Dunia II, permasalahan Irian Barat itu sendiri diintervensi oleh Amerika Serikat melalui pemerintahan kepresidenan Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John Fitzgerald Kennedy dan sebagainya yang terpengaruh oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat dari pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Intervensi Amerika Serikat dalam hal Peristiwa G30s 1965 didasari dua kepentingan besar.  Pertama Amerika Serikat berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis agar kembali ke pangkuan barat.  Kedua, menjaga kepentingan ekonomi Amerika Serikat melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan jika memungkinkan, memperluasnya.  Untuk mencapai dua misi itu, Amerika Serikat punya kepentingan untuk menghancurkan PKI.  Sebab PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik Amerika Serikat di Indonesia.  Kepentingan Amerika Serikat selanjutnya yaitu menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan kepentingan barat.
  
1.2.       Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimanakah kronologis keterlibatan Amerika Serikat dalam perpolitikan Indonesia pada awal kemerdekaan?
1.2.2. Bagaimanakah kronologis keterlibatan CIA (Amerika Serikat) dalam pemberontakan di Indonesia (PRRI/Permesta)?
1.2.4. Bagaimanakah keterlibatan Amerika Serikat dalam Peristiwa G30s 1965?

1.3.       Tujuan
1.3.1.Untuk mengetahui bagaimanakah kronologis keterlibatan Amerika Serikat dalam perpolitikan Indonesia pada awal kemerdekaan
1.3.2.Untuk mengetahui bagaimanakah kronologis keterlibatan CIA (Amerika Serikat) dalam pemberontakan di Indonesia (PRRI/Permesta)?
1.3.4.Untuk mengetahui bagaimanakah keterlibatan Amerika Serikat dalam Peristiwa G30s 1965

  

BAB 2 PEMBAHASAN


2.1. Keterlibatan Amerika Serikat Dalam Perpolitikan Indonesia Pada Awal Kemerdekaan

Dalam buku Francis Gouda dan Tijs Brocades dengan judul “Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri Amerika Serikat Dan Nasionalisme Indonesia” diperlihatkan beberapa hal yang baru mengenai kemerdekaan Indonesia.  Pertama, kendati perjuangan senjata penting, kemerdekaan Indonesia yang secara resmi diakui dunia internasional pada 27 Desember 1949 tidak lepas dari upaya diplomatik yang melelahkan.  Kedua, adanya keterlibatan Amerika Serikat baik langsung maupun tidak langsung terhadap proses kemerdekaan Indonesia.  Memang ironis ketika ternyata kemerdekaan yang selama ini dipahami sebagai buah dari pengorbanan ribuan nyawa hanya ditentukan oleh satu negara, Amerika Serikat.  Akan tetapi, Gouda melihat bahwa begitulah kenyataanya, paling tidak jika dilihat dari kaca mata Amerika Serikat.  Gouda menunjukkan upaya yang dilakukan para tokoh nasionalis Indonesia untuk mendapat dukungan Amerika Serikat terkait kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan pada pertengahan akhir tahun 1945 tersebut menjadi pertanda bahwa kedudukan Amerika Serikat sebagai pemenang perang disadari oleh kaum nasionalis Indonesia guna mendapat dukungan internasional.  Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah bagaimana Amerika Serikat menggunakan kekuasaanya pada saat menanggapi kemerdekaan Indonesia, apakah Amerika Serikat mendukung kemerdekaan Indonesia ataukah justru menggunakan kesempatan tersebut demi kepentingan nasionalnya?
Sejarawan Baskara T. Wardaya dalam buku “Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963” menyatakan bahwa pandangan politik Amerika Serikat terhadap Indonesia didasari oleh kepentingan politik dan ekonomi.  Secara politik, Belanda merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat.  Sedangkan secara ekonomis Amerika Serikat sadar bahwa Indonesia merupakan aset yang sangat potensial dengan posisi strategis ditambah dengan kekayaan alam melimpah, sehingga keuntungan lebih mungkin didapat apabila Indonesia diserahkan kepada Belanda.  Meski dua kepentingan itu adalah motif utamanya, Perang Dingin yang terjadi kemudian antara Amerika Serikat (blok barat) dan Uni Soviet (blok timur) menjadi agenda yang tak kalah penting.  Jika semula Indonesia dilihat sisi kelimpahan kekayaan alam yang menggiurkan, kini Indonesia dilihat sebagai suatu ancaman bagi persebaran ideologi komunisme.
Intervensi politik Amerika Serikat pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia ditandai dengan sebuah perundingan diplomatik pertama antara Indonesia dan Belanda yang kemudian dinamakan perundingan Linggajati.  Isi kesepakatan perundingan Linggajati adalah Belanda dan Indonesia membentuk negara federal dengan Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagiannya, Indonesia dan Belanda mendirikan uni Indonesia-Belanda dan penyempitan wilayah Republik Indonesia menjadi Sumatera, Jawa dan Madura.  Bagi Indonesia hasil perundingan itu sangat mengecewakan, sedangkan bagi Belanda merupakan kemenangan awal sebelum sampai pada tujuan utamanya menguasai seluruh bagian bekas tanah jajahan Hindia Belanda.  Menarik untuk diketahui bagaimana tanggapan Amerika Serikat akan hasil perundingan yang menguntungkan Belanda tersebut.  Seorang Pejabat Menteri Luar Negeri Belanda, Dean G. Acheson, misalnya, mengutus konsulat jendral di Jakarta agar menyampaikan ucapan terimakasih Amerika Serikat sebesar-besarnya kepada Soekarno, Syahrir dan van Mook atas keberhasilan ditandatanganinya perundingan tersebut.
Situasi yang tak menentu dan ketegangan antara Belanda dan Indonesia membuat Amerika Serikat kembali menyusun strategi politik.  Staf kedutaan Amerika Serikat di Indonesia menyatakan apabila Belanda menggunakan kekerasan senjata untuk memperbaiki keadaan yang sedang terjadi, maka para pejuangan Indonesia akan menggunakan taktik bumi hangus yang dapat “membahayakan nyawa warga Amerika Serikat dan menghancurkan aset-aset Amerika Serikat (terutama aset milik) perusahaan tambang minyak Standard-Vacuum di ladang minyak yang terdapat di sebelah barat daya Pelembang”.  Pernyataan itu menunjukkan bahwa sedapat mungkin Amerika Serikat menjaga agar penyelesaian damai dapat terjadi sehingga kepentingan Amerika Serikat tidak terusik.
Ketika ketegangan Indonesia-Belanda tak terbendung lagi, pada pertengahan awal tahun 1947 Belanda mengingkari kesepakatan Linggarjati dengan mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang wilayah Republik Indonesia.  Menanggapi keadaan ini secara mengejutkan Amerika Serikat justru bersikap diam.  Sikap politik ini menunjukan dukungan Amerika Serikat terhadap sekutu terdekatanya, Belanda.  Amerika Serikat beranggapan bahwa dengan membiarkan Indonesia jatuh ke tangan Belanda, maka pengeluaran Amerika Serikat untuk program pemulihan pasca perang yang diberikan kepada Belanda bisa diminimalisir.  Disamping itu, dukungan diam-diam Amerika Serikat juga dilatar belakangi oleh laporan mengada-ada pejabat Belanda yang menyakinkan Amerika Serikat mengenai tokoh kemerdekaan Indonesia yang disebut-sebut berhaluan komunis.
Pada tanggal 8 Desember 1947 digelar perundingan kembali di atas kapal milik Angkatan Laut Amerika Serikat, Renville, di Teluk Jakarta.  Perundingan itu menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan gencatan senjata.  Namun, tak lama setelah itu pemerintah Indonesia dikejutkan oleh peristiwa Madiun 1948.  Para tokoh oposisi dibawah naungan PKI yang mendirikan basis di kota Madiun melancarkan serangan terhadap pemerintah yang dinilai lemah menghadapi tekanan Belanda.  Lebih jauh daripada itu, para pemimpin komunis ini melawan pemerintah pusat secara lebih keras dengan mengumumkan berdirinya negara soviet Madiun yang berarti melepaskan diri dari naungan pemerintahan Indonesia.  Pada tanggal 30 September tahun itu, pemerintah Indonesia berhasil mematahkan pemberontakan kaum komunis.  Prestasi Indonesia ini menjadi titik balik bagi pandangan Amerika Serikat atas pemerintah Indonesia yang sebelumnya dicurigai sebagai pemerintahan komunis.  Akibatnya, pemerintah Amerika Serikat berubah haluan menjadi pendukung kemerdekaan Indonesia.
Selain citra pemerintah Indonesia yang anti-komunis, dukungan Amerika Serikat dilandasi pula oleh sikap agresif militer Belanda yang tidak disenangi oleh dunia internasional.  Karena semakin kuatnya tekanan internasional dan dalam negeri Amerika Serikat, maka pada 31 Maret 1949 Menteri Luar Negeri AS, Dean Acheson,memberitahu menteri luar negeri Belanda yang sedang berkunjung ke Amerika Serikat, Dirk Stikker bahwa Amerika Serikat ingin melihat suatu penyelesaian yang cepat atas konflik Belanda-Indonesia.  Akhirnya, ketika dibuka sebuah konferensi penyelesaian konflik di Den Hag Belanda (Konferensi Meja Bundar), Menteri Luar Negeri kepada delegasi Amerika Serikat menyampaikan harapan agar dapat dicapai kesepakatan bersama karena “Amerika Serikat sangat berkepentingan dengan hasil akhir dari kontroversi (pertikaian) ini”.  Seakan menandaskan bahwa kepentingan yang dimaksud adalah pencegahan “bahaya” komunis, Acheson menambahkan “Kecuali bahwa suatu penyelesaian damai dengan baik, yang hingga batas-batas tertentu memberi ruang bagi aspirasi rakyat Indonesia, disepakati oleh kedua belah pihak, Asia Tenggara dan Indonesia akan lebih rentan terhadap ekspansi komunis”.  Tanggal 27 Desember 1949, kesepakatan KMB Den Hag berhasil dicapai.  Kemerdekaan Indonesia diakui dunia internasional, meskipun untuk sementara masalah Irian Barat tertangguhkan.
Uraian di atas menunjukan perubahan politik Amerika Serikat setelah pemberotakan Madiun 1948.  Jika sebelumnya Amerika Serikat mendukung penguasaan kembali Indonesia oleh Belanda, maka setelah bergulirnya Perang Dingin dan Amerika Serikat mengetahui bahwa pemerintahan Soekarno adalah anti-komunis, Amerika Serikat secara implisit mendukung kemerdekaan Indonesia dengan cara mendesak Belanda agar segera menyelesaikan konflik secara damai.  Meski demikian, perlu diingat bahwa tekanan Amerika Serikat tersebut tidak lepas dari kepentingan menjaga aset ekonomis dan melindungi Indonesia dari ekspansi komunis.

2.2. Keterlibatan CIA (Amerika Serikat) Dalam Pemberontakan Di Indonesia (PRRI/PERMESTA)
Kemenangan kaum komunis dalam Revolusi Merah Oktober 1917 begitu mencemaskan Amerika Serikat.  Sejak itu, Amerika Serikat merancang satu strategi untuk menghancurkan Rusia.  Pada 8 Januari 1918, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson mengumumkan Program 14 Pasal.  Dalam suatu komentar rahasia mengenai program ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan mencerai-beraikan Uni Soviet sudah direncanakan dan dikemudian benar-benar dihancurkan di tahun 1992.  Truman Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947.  Disusul dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II.  Dalam program Marshall Plan tersebut, Indonesia merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang tercakup dalam rencana dasar Marshall Plan.  Akibatnya, bantuan keuangan Amerika Serikat kepada Belanda menyebabkan Den Haag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia.  Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di Yogyakarta kala itu.  Bukan itu saja, Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.  Hal itu bisa terbaca ketika tentara Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir Amerika Serikat dan mengendarai jeep Angkatan Darat Amerika Serikat.  Bahkan Amerika Serikat diyakini turut membantu Belanda dalam serangan Agresi Militer Belanda II atas Yogyakarta pada 18 Desember 1948.
Perhatian Amerika Serikat terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II yang disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa.  Untuk itu Amerika Serikat pun membangun basecamp nya dibeberapa titik antara lain pada 8 September 1951, Amerika Serikat mendirikan pangkalan militer di Okinawa-Jepang, pangkalan Clark dan Subic di Philipina berdiri pada 30 Agustus 1951, ANZUS (Australia, New Zealand and Amerika Serikat) berdiri pada 1 September 1951, Korea Selatan pada 1 Oktober 1953 dan Taiwan pada 2 Desember 1954.  Hebatnya, semua perkembangan global di atas telah dipelajari dengan seksama oleh Presiden RI Soekarno yang sejak muda sudah menunjukkan kekritisannya.  Soekarno tahu jika negerinya ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa.  Sebab itu dia sungguh-sungguh paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh menjadi sebuah negeri yang besar dan makmur.  Sikap Soekarno inilah yang membuatnya menentang segala bentuk Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dimana Amerika Serikat menjadi panglimanya.  Dalam pandangan Soekarno, Uni Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang Amerika Serikat karena Uni Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan Amerika Serikat.  Atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan Amerika Serikat guna membentuk Pan-Pacific untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana Amerika Serikat menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika Serikat untuk menundukkan Soekarno kecuali menyingkirkannya.
Pada 1957, untuk memperkuat perekonomian nasional, Soekarno bertindak cepat mengambil langkah berani dan cerdas dengan menasionalisasi aset-aset milik Belanda.  Soekarno tahu jika rakyat tentu mendukung penuh langkah ini.  Namun Soemitro dan rekan-rekannya yang pro barat dengan berani menentang Soekarno dan malah bergabung dengan para pemberontak PRRI/PERMESTA yang didukung penuh oleh CIA.  Dalam waktu bersamaan, November 1957 terjadi percobaan pembunuhan terhadap Soekarno yang dikenal dengan Peristiwa Cikini.  Soekarno selamat namun 9 orang tewas dan 45 orang disekelilingnya terluka.  Edisi koleksi angkasa berjudul “Dirty War, Mesiu di Balik Skandal Politik dan Obat Bius” memaparkan keterlibatan CIA dalam peristiwa ini.  Pemerintah kala itu mendeteksi jika tindakan tersebut didalangi oleh komplotan ektrem kanan yang dimotori Letkol Zulkifli Loebis, pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI), cikal bakal BIN dan didukung CIA.  Dengan tegas Soekarno mengatakan jika CIA berada di belakang usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya.  Tudingan Soekarno terbukti.  Dalam satu sesi pertemuan Komite Intelijen Senat Amerika Serikat yang diketuai Senator Frank Church dengan Richard Bissel Jr, mantan wakil Direktur CIA bidang perencanaan operasi, 22 tahun kemudian terungkap jika saat itu nama Soekarno memang sudah masuk dalam target operasi Direktur CIA, Allan Dulles.
Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA, Amerika Serikat menurunkan kekuatan yang tidak main-main.  CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan Amerika Serikat Subic & Clark), Taiwan dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak.  Dari Singapura, pejabat Konsulat Amerika Serikat yang berkedudukan di Medan dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro dan Letkol Ventje Soemoeal.  Malam hari, 7 Desember 1957 Panglima Operasi Angakatan Laut Amerika Serikat, Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific), Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke
Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun.  Satu divisi pasukan elit Amerika Serikat, US-Marine di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut.  Dalih Amerika Serikat pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak Amerika Serikat, Caltex di Pekanbaru, Riau.
Selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin lengkap dengan amunisi dan aneka granat kepada para pemberontak, CIA juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur, pembom dan sebagainya.  Bahkan sejumlah pesawat tempur Angkatan Udara Filipina dan Angkatan Udara Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan CIA kepada pemberontak.  Sebab itulah pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner).  Beberapa pilot pesawat tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer Amerika Serikat, Korea Selatan, Taiwan dan juga Filipina.  Awalnya pemerintah Amerika Serikat membantah keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA.  Namun sungguh ironis, tidak sampai tiga pekan setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu, pada 18 Mei 1958 sebuah pesawat pengebom B-29 milik Amerika Serikat ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).  Pilot tempur pesawat tersebut yaitu Allan Lawrence Pope, agen CIA yang sengaja ditugaskan membantu pemberontakan guna menggulingkan Soekarno berhasil ditangkap hidup-hidup.
Atas gertakan Amerika Serikat yang sampai mengerahkan kekuatan dua batayon US Marine dengan Armada ke-7 nya ke perairan Riau, Soekarno sama sekali tidak gentar dan balik mengancam Amerika Serikat agar jangan ikut campur terlalu jauh ke dalam masalah internal NKRI.  Pada saat itu Soekarno segera mengirim satu pasukan besar di bawah pimpinan Ahmad Yani untuk melibas para pemberontak di Sumatera.  Saat itu RRC telah menyiapkan skuadron udaranya serta ribuan tentara regulernya untuk bergerak ke Indonesia guna membantu Soekarno memadamkan pemberontakan yang didukung CIA tersebut, namun Soekarno menolaknya.  Hanya dalam hitungan jam setelah pasukan Ahmad Yani mendarat di Pekanbaru, Padang serta Bukit Tinggi pusat konsentrasi para pemberontak, maka kota-kota penting itu pun direbut tanpa perlawanan yang berarti.  Bahkan pesan rahasia CIA kepada para pimpinan pemberontak sebelum mundur dari Riau mereka harus meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan Ahmad Yani dan setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, ini sama sekali tidak sempat dilakukan.  Pada Juni 1958, pemberontakan ini berhasil ditumpas.  Sumitro Djojohadikusumo dan sejumlah tokoh yang terlibat pemberontakan meloloskan diri ke Singapura.
Walau awalnya Amerika Serikat membantah keterlibatannya, namun mantan Dubes Amerika Serikat Howard P. Jones mengakui jika dirinya tahu jika CIA ada di belakang pemberontakan itu.  Hal ini ditegaskan Jones dalam memoarnya “Indonesia: The Possible Dream” (1990; h.145).  Upaya CIA menumbangkan Soekarno selalu menemui kegagalan.  Dari membuat film porno “Bung Karno”, sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai cara.  Hal ini menjadikan CIA harus bekerja ekstra keras.  Apalagi Soekarno secara cerdik akhirnya membeli senjata dan peralatan militer ke negara-negara Blok Timur dalam jumlah besar setelah Amerika Serikat menolak memberikan peralatan militernya.  Amerika Serikat tentu tidak ingin Indonesia lebih jauh bersahabat dengan Blok Timur.  Sebab itu, setelah gagal mendukung PRRI/PERMESTA, sikap Amerika Serikat jadi lebih lunak terhadap Indonesia.  Namun walau di permukaan Amerika Serikat tampak kian melunak, sesungguhnya Amerika Serikat tengah melancarkan ‘operasi dua muka’ terhadap Indonesia.  Di permukaan Amerika Serikat ingin terlihat memperbaharui hubungannya dengan Soekarno, namun diam-diam CIA masih bergerak untuk menumbangkan Soekarno dan menyiapkan satu pemerintah baru untuk Indonesia yang mau tunduk pada kepentingan Amerika Serikat.
Di sisi lain, CIA juga menggarap satu proyek membangun kelompok elit birokrat baru yang pro barat yang kini dikenal sebagai ‘Berkeley Mafia’.  Sumitro dan Soedjatmoko merupakan tokoh penting dalam kelompok ini.  Terbukanya upeti besar dari Asia yaitu tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Soeharto disambut gembira pihak Washington.  Presiden Amerika Serikat Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”.  Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa.  Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Soeharto, kunci peti harta karun ini justru digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat.  Apalagi pada masa pemerintahan saat ini.  Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967.  Jenderal Soeharto mengirim satuan tim ekonomi yang dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik.  Tim yang kelak disebut sebagai Mafia Berkeley tersebut menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller.  Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada
korporasi-korporasi asing.  Freeport mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya.  Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss yang dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World) dan semua CEO korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Sejak kegagalan mendukung PRRI/PERMESTA, National Security Council (NSC) lewat CIA terus memantau perkembangan situasi Indonesia secara intens.  Sejumlah lembaga-lembaga sipil dan militer Amerika Serikat juga sangat aktif menggodok orang-orang Indonesia yang dipersiapkan duduk di kursi kekuasaan paska Soekarno.  Orang yang dijadikan penghubung antara CIA dan Soeharto dalam hal ini adalah Adam Malik.  Untuk membangun satu kelompok militer, terutama Angkatan Darat di Indonesia yang ‘baru’ (pro Amerika Serikat), Amerika Serikat menyelenggarakan pendidikan militer untuk para perwira Indonesia ini di Fort Leavenworth, Fort Bragg dan sebagainya.  Pada masa antara 1958-1965 jumlah perwira Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat menjadi 4.000 orang. (Suroso; 2008; h. 373).  Amerika Serikat telah memanfaatkan para pejabat Indonesia yang pro barat ini untuk memuluskan kepentingannya.  Bahkan Tim Werner dalam “Legacy of Ashes: A History of CIA” (2007) menulis jika Adam Malik telah direkrut menjadi agen CIA lewat pengakuan seorang mantan agen CIA bernama McAvoy.  Walau yang terakhir ini sempat jadi polemik, namun kedekatan Adam Malik dan kawan-kawan dengan para pejabat Amerika Serikat saat itu adalah suatu fakta sejarah.
Dalam fase awal kekuasaannya, Jenderal Soeharto didampingi oleh dua tokoh Orde Baru yang sama-sama Amerikanis yakni Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX dikenal sebagai Triumvirat Orde Baru.  Pada Juli 1966, seorang pejabat CIA bernama Clarence “Ed” Barbier mendarat di Jakarta.  Jabatan resminya adalah Asisten Khusus Duta Besar Amerika Serikat.  David Ransom di dalam artikel “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1971) dengan jujur memaparkan bagaimana Amerika Serikat lewat CIA membangun satu kelompok elit baru guna memimpin satu Indonesia yang tunduk pada kepentingan kekuatan Neo-Imperialisme dan Neo-Kolonialisme Barat.  Bahkan sesungguhnya Amerika Serikatlah yang merancang dan menyusun strategi pembangunan nasional negeri ini yang dikenal dengan istilah Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) lewat satu tim asistensi CIA dan sejumlah think-tank Amerika Serikat yang bekerja di belakang para teknokrat dan birokrat rezim Orde Baru.
Para pejabat pendiri Orde Baru seperti Adam Malik, Sumitro, Soedjatmoko dan sebagainya memang dikenal amat dekat dengan para pejabat Amerika Serikat, baik yang bekerja di Jakarta maupun Washington.  Lewat CIA, Amerika Serikat telah memanfaatkan para pejabat Indonesia yang anti Soekarno ini untuk memuluskan kepentingannya.  Salah satu operasi rahasia CIA di Indonesia di awal era Orde Baru adalah operasi HABRINK yang berbasis di Konsulat Amerika Serikat di Surabaya.  Saat itu, rezim Soeharto ‘menerima’ warisan perlengkapan dan persenjataan perang dari negara-negara Blok Timur seperti Chekoslovakia dan Uni Soviet.  Kebetulan Amerika Serikat tengah berperang di medan tempur Indocina dan menghadapi pihak lawan yang menggunakan peralatan perang seperti yang ada di Indonesia.  Operasi rahasia yang digelar pada 1967 ini bertujuan untuk mendapatkan detil teknis dan juga contoh barang perlengkapan militer Uni Soviet seperti Rudal SA-2, kapal selam kelas Whiskey, kapal perang jenis Riga dan pesawat pembom Tu-16.  Operasi ini dibuka kepada umum ketika salah seorang pejabat CIA yang terlibat dalam operasi ini, David Henry Bennet dihukum pada 1980 karena diketahui telah menjual detail operasi ini kepada pihak Uni Soviet.  Hal ini berasal dari catatan Bakin Personnel File atau BPF dengan title ‘David Henry Barnett’”, tulis Conboy dalam bukunya (h.57). Clarence Barbier, demikian tulis Conboy bekerja dengan mulus di Indonesia disebabkan kesamaan agenda antara Amerika Serikat dengan rezim Soeharto yakni memerangi komunisme.
Dalam tugasnya, Barbier merekrut sejumlah orang Indonesia baik militer maupun sipil.  Lewat hubungan yang amat baik dengan Kolonel CPM Nicklany Soedardjo, seorang perwira didikan Amerika Serikat (lulusan Fort Gordon, 1961), Barbier berhasil merekrut seorang tokoh Perti (Partai Tarbiyah Indonesia) bernama Suhaimi Munaf yang oleh Soeharto dianggap dekat dengan orang-orang komunis.  Suhaimi sendiri pernah ditangkap pada Februari 1967 dengan tuduhan telah melakukan kejahatan politik.  Sekitar Agustus 1968, menjelang kebebasan Suhaimi Munaf, Barbier meminta kepada Kol. CPM Nicklany agar melakukan serangkaian tes psikologi terhadap Suhaimi.  Hasil tes menunjukkan Suhaimi memiliki mental baja, keras kepala dan tidak mudah dipengaruhi.  Hasil yang sesuai dengan keinginan CIA.  Kemudian Suhaimi berhasil direkrut CIA dan dikirim ke Pulau Buru dengan menyandang nama sandi Friendly.  Di pulau tempat pembuangan dan penahanan orang-orang komunis ini, Suhaimi mendapat tugas untuk menjalin hubungan lagi dengan kolega kirinya baik yang berada di dalam maupun luar negeri.  Dengan memanfaatkan simpati atas penahanannya, ia mencari-cari pekerjaan di kedutaan negara asing komunis.
Kerjasama Kol. Nicklany dengan Barbier tidak berhenti di sini saja.  Pada awal 1968, Nicklany yang menjabat sebagai Asisten Intelijen Kopkamtib kepada orang-orang terdekatnya menyatakan ingin membentuk satuan tugas kontra intelijen asing guna menangkap mata-mata asing yang beroperasi di Indonesia.  “Mata-mata aing” di sini tentu saja memiliki arti sebagai mata-mata Blok Timur karena dengan CIA dan sekutunya, Nicklany malah bekerjasama.  Satuan tugas ini akhirnya terbentuk dengan anggota inti sebanyak enam puluh orang, sepuluh perwira aktif dan sisanya sipil dan menyandang nama resmi “Satuan Khusus Pelaksana Intelijen” atau Satsus-Pintel yang kemudian diringkas menjadi “Satuan Khusus Intelijen” atau Satsus-Intel.  Satuan ini mendapatkan dana dari CIA lewat Barbier termasuk gaji personelnya, lalu bantuan kendaraan untuk kegiatan pengamatan (surveilance), biaya sewa rumah-aman (safe house) di Jalan Jatinegara Timur-Jakarta dan tape recorder mutakhir merk Sony TC-800 serta perangkat penyadap telepon canggih QTC-11.  Hingga awal 1970, Satsus-Intel mendapat 16 sepeda motor, 3 sedan Mercedes, 2 Toyota Corolla, 3 Volkswagen, 1 Toyota Jeep dan 1 Minibus Datsun dengan kaca belakang yang dilapisi penutup agar minibus ini digunakan untuk melakukan pemotretan rahasia dan semuanya tersebut dari CIA.  Jenderal Sumitro
Pangkopkamtib dengan terus terang menyatakan jika pihaknya memang menjalin kerjasama yang erat dengan MOSSAD Israel, CIA dan juga MI-6 Inggris dalam hal penumpasan komunis.  Dalam hal ini Sutopo Yuwono, Kharis Suhud dan Nicklany diizinkan (Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; 1994; h. 251).

2.3.   Intervensi Amerika Serikat Dalam Pembebasan Irian Barat

Indikasi dari adanya keterlibatan dan intervensi Amerika Serikat di Irian Barat itu sendiri memiliki permasalahan yang cukup signifikan.  Hal ini diawali dari adanya kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di berbagai negara di Asia, temasuk Indonesia.  Kemudian dengan adanya kemampuan dari Amerika Serikat dalam hal militer dan juga perekonomian itu sendiri memberikan kekuasaan terhadap negara-negara yang dianggapnya dapat diperoleh kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral.  Berbagai hubungan Amerika Serikat-Indonesia yang pada mulanya dilakukan oleh Amerika Serikat berawal dari adanya insiden antara awak kapal perang Potomac dengan penduduk Kuala Batu di Aceh.  Kemudian berlanjut menjadi adanya indikasi keterlibatan Amerika Serikat dalam operasi Trikora yang menurut Amerika Serikat itu sendiri adalah upaya pribadi Soekarno yang merusak tatanan perdamaian dan kesejahteraan dunia yang kemudian dibentuknya opini dunia oleh Amerika Serikat itu sendiri.
Kesinambungan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan masalah-masalah keamanan yang dilakukannya tersebut memiliki ciri yang bertentangan.  Ciri khas politik Amerika Serikat itu sendiri memiliki kolaborasi yang seimbang antara memeilihara, melindungi dan memperluas kepentingan Amerika Serikat itu sendiri di seluruh dunia, termasuk Indonesia.  Tetapi peran politik yang paling penting dan realistik dalam kancahnya di Irian Barat adalah politik intervensionis.  Di mana pada masa pasca Perang Dunia II, permasalahan Irian Barat itu sendiri diintervensi oleh Amerika Serikat melalui pemerintahan kepresidenan Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John Fitzgerald Kennedy dan sebagainya yang terpengaruh oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat dari pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam suatu pemerintahan liberal maupun kebijakan luar negeri yang dijalankan Amerika Serikat, terdapat peran kaum neokonservatif yang melakukan rekayasa sosial.  Rekayasa sosial terbentuk dari sebuah gerakan dengan visi tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi perubahan sosial, tetapi dalam konteks social engineering (rekayasa sosial) yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat adalah dengan melakukan penyebaran demokrasi terhadap negara-negara yang masih diktator.  Dalam hal ini Soekarno dianggap sebagai seorang diktator yang menghalangi kepentingan Amerika Serikat di Indonesia khususnya Irian Barat pada masa pasca Perang Dingin tersebut.
Keterlibatan Amerika Serikat itu sendiri tidak terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia yang baru merdeka pada tahun 1945.  Pengaruh-pengaruh Blok Timur di Indonesia mulai dikesampingkan oleh presiden Amerika Serikat pada saat itu yaitu Harry S. Truman di mana konflik kependudukan dan geografi Irian Barat itu sendiri berakar dari adanya kepentingan Amerika Serikat untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai bagian dari negara-negara penganut Blok Barat, tetapi dengan adanya peran Soekarno yang bersikap tegas dan tidak mudah untuk diatur, Amerika Serikat menggunakan kesempatan tersebut di mana pada saat itu Indonesia sedang melakukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan terhadap Belanda untuk membantu Belanda mengklaim Irian Barat sebagai daerah yang diklaim Belanda dalam jajahannya agara Indonesia tetap condong ke Blok Barat di bawah pengaruh Belanda.
Bentuk lain dari Doktrin Truman yang berlaku di Eropa juga diaplikasikan dalam penolakan bantuan militer terhadap Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda.  Hal ini dikarenakan sikap Soekarno yang juga mendukung komunisme dalam masa Perang Dingin sehingga adanya indikasi bahwa tidak percayanya Amerika Serikat terhadap Indonesia untuk terus berada di Blok Barat.  Sedangkan mempertahankan Irian Barat dianggap sebagai suatu sikap atau bentuk perlawanan terhadap imperialisme yang berkepanjangan antara negara-negara Blok Barat tersebut.  Kembali ke pemikiran-pemikiran neokonservatif yang dimiliki oleh institusi-institusi Amerika Serikat itu sendiri, perlu diketahui bahwa demokrasi yang menjadi objek penyebaran pemerintah Amerika Serikat dipercaya menjadi jawaban bagi keinginan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik dan demokrasi dipercaya oleh kaum neokonservatif sebagai hak-hak dasar manusia walaupun kaum neokonservatif sendiri mengabaikan nilai-nilai fungsi sipil yang kritis.  Demokrasi juga disalahpahami sebagai suatu sistem yang menguntungkan sebuah negara karena dibebaskannya negara tersebut dari kediktatoran.  Hal yang ingin ditekankan adalah kasus Irian Barat dalam pandangan Truman merupakan suatu bentuk kesempatan ataupun eksperimen untuk mempersatukan serta mengayomi pihak militer Indonesia untuk melepaskan diri dari pihak Indonesia.
Berlanjut pada masa pemerintahan Dwight D. Eisenhower di mana adanya keterlibatan seorang agen CIA bernama Allen Pope yang dianggap memiliki peran penting dalam proses intervensi pemerintahan Amerika Serikat di Indonesia dan membuka peluang penting dalam menyibak kabut keterlibatan Amerika Serikat di Irian Barat.  Pada tahun 1950 juga bentuk politik Amerika Serikat terhadap Indonesia memiliki beberapa faktor yang relevan dengan adanya permasalah baik di internal maupun eksternal Indonesia dan Amerika Serikat itu sendiri.  Seperti tindakan-tindakan sensitive yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat karena adanya gerakan-gerakan yang menjurus kearah komunisme Blok Timur, lalu pada waktu itu pemerintah Indonesia memperoleh dukungan yang luas dari rakyat beserta instrument-instrumen kenegaraannya yang luas sehingga adanya kecenderungan munculnya pengaruh yang memecah belah, lalu metode politik Indonesia yang tidak sesuai dengan demokrasi Amerika Serikat itu sendiri juga menjadi permasalahan lain dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Indonesia sendiri, kemudian adanya ketidaksenangan pihak Amerika Serikat karena akan adanya gerakan politik yang memperjuangkan Irian Barat (yang pada saat itu masih dijajah Belanda).  Sehingga bantuan luar negeri yang Amerika Serikat berikan, tersangkut oleh adanya faktor-faktor tersebut.
Kemudian cara persuasif yang lebih halus dan tanpa penekanan dilakukan oleh John F. Kennedy dalam masa pemerintahannya terhadap Soekarno.  Adanya pengeluaran biaya dalam pembelian alat-alat militer dan bantuan secara militer ditawarkan oleh Kennedy untuk aksi-aksi pembebasan Irian Barat dan berbagai permasalahan lainnya di Indonesia terhadap Soekarno.  Hal ini memberikan jalan lain setelah terkuaknya kasus dugaan percobaan pembunuhan Soekarno pada 3 Juni 1965.  Setelah adanya pembebasan Allen Pope itu sendiri yang dimuat di New York Times pada 23 Agustus 1962, orang yang dihukum seumur hidup dikembalikan ke Amerika Serikat secara rahasia oleh Robert F. Whitney.  Dalam surat kabarnya menyebutkan Allen Lawrence Pope, penerbang Amerika Serikat yang menjalani hukuman seumur hidup dalam penjara di Indonesia dibebaskan pada tanggal 2 Juli dan selama beberapa minggu sudah berada di Amerika Serikat.  Menurut Reap, pilot itu dibebaskan sebagai bagian dari amnesti umum dan Amerika Serikat tidak memberikan konsesi untuk memperoleh pembebasannya.  Hal ini memberikan adanya perubahan pandangan pembebasan warga negara Amerika Serikat yang sebelumnya mendapatkan sanksi hukuman seumur hidup menjadi bebas tanpa syarat dan dikembalikan ke negaranya.  Keterlibatan Amerika Serikat dalam berbagai perjuangan politik Indonesia pun terkuat melalui penangkapan Allen Pope sebagai agen CIA yang menyamar tersebut.
Dalam operasi Trikora yang disebut juga sebagai upaya yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Irian Barat terkait dengan nasionalisme yang ditekankan pada masa pemerintahan Soekarno sehingga pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta.  Pembentukan berbagai komando dan penyelenggaraan operasi-operasi militer juga diberlakukan Soekarno dalam penanggulangan permasalahan di Irian Barat tersebut.  Kepentingan awal yang mengakar pada masa Perang Dingin tersebut adalah adanya penyebaran demokrasi.
Dari kasus-kasus yang sudah terjadi, kesuksesan penyebaran demokrasi memiliki tiga kerakteristik yang bisa dijadikan sebagai pembanding antara lain :
1.   Adanya inisiatif yang datang dari masyarakat yang bersangkutan
2. Bentuk dukungan eksternal hanya bekerja di rezim semi-otoriter yang memerlukan tahap pemilihan serta adanya kebebasan bagi kelompok masyarakat sipil untuk berorganisasi
3.  Daya penerimaan kekuatan pro-demokrasi dari negara luar sangat bergantung kepada sejarah spesifik masyarakat dan jenis dari nasionalisme penduduk setempat yang ada.
Peran Amerika Serikat dalam penyebaran demokrasi yang terjadi melalui dan melewati konflik yang terjadi di Irian Barat tersebut berkelanjutan dengan adanya desakan-desakan Amerika Serikat terhadap Belanda untuk terus melakukan perundingan-perundingan dengan pihak Indonesia.  Sehingga untuk menghindari konfrontasi yang lebih lanjut, diadakanlah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda di New York yang dikenal dengan nama Perjanjian New York.  Dalam hal inilah peran aktif dan langsung yang dimiliki oleh Amerika Serikat terhadap permasalahan Irian Barat terlihat jelas.  Keterlibatan maupun intervensi Amerika Serikat dalam permasalahan Irian Barat tersebut tidak terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai presiden yang memimpin pada masa perjuangan Irian Barat tersebut.  Kemudian keterlibatan-keterlibatan Amerika Serikat terlihat jelas melalui adanya peran-peran CIA dan organisasi lainnya dalam proses intervensi politik Indonesia oleh Amerika Serikat sendiri termasuk permasalahan Irian Barat serta berujung kepada permohonan pembebasan Allan Pope untuk kembali ke Amerika Serikat.  Ketakutan Amerika Serikat terlihat di dalam cara penanganan-penanganan permasalahan Irian Barat yang memerlukan rekayasa-rekayasa sosial dalam hal militer dan juga ekonomi, walaupun mendapat perlawanan dari Soekarno itu sendiri.  Permasalahan Irian Barat pun dianggap sebagai suatu kesempatan untuk memecah Indonesia untuk kembali di bawah jajahan Belanda sebagai bagian dari Blok Barat di masa Perang Dingin tersebut, di mana kebijakan presiden Amerika Serikat juga berperan di dalamnya pada masa itu.

 

2.4.   Keterlibatan Amerika Serikat Dalam Peristiwa G30s 1965

Dua kepentingan besar Amerika Serikat saat datang ke Indonesia saat itu yaitu pertama Amerika Serikat berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis agar kembali ke pangkuan barat.  Kedua, menjaga kepentingan ekonomi Amerika Serikat melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan jika memungkinkan, memperluasnya.  Untuk mencapai dua misi itu, Amerika Serikat punya kepentingan untuk menghancurkan PKI.  Sebab PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik Amerika Serikat di Indonesia.  Kepentingan Amerika Serikat selanjutnya yaitu menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan kepentingan barat.
a.    Pra G30S 1965
Sebelum peristiwa G30S 1965, Amerika Serikat sudah melakukan sejumlah aksi untuk membendung laju komunisme, politik luar negeri non-blok dan rencana-rencana pembangunan di Indonesia.  Salah satunya adalah keterlibatan Amerika Serikat dalam menyokong militer kanan dalam pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1950-an.  Selain itu, Amerika Serikat juga bekerjasama dengan sejumlah intelektual berorientasi barat di Indonesia yang kecewa dengan pembubaran Demokrasi Parlementer.  Selain itu, pemerintah Amerika Serikat, lembaga-lembaga kemanusiaannya dan lembaga seperti Bank Dunia mencoba ‘merayu’ Soekarno untuk menerima bantuan militer, ekonomi dan teknis.  Harapan Amerika Serikat untuk membawa Indonesia ke pangkuan barat benar-benar pupus begitu Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap Federasi Malaya (federasi bentukan Inggris).  Di sisi lain, politik luar negeri Indonesia makin merapat ke Cina.
Pada Agustus 1964, Amerika Serikat memulai operasi-operasi rahasia untuk menggulingkan Soekarno dan memancing konflik yang tajam antara Angkatan Darat (AD) dan PKI.  Saat itu, pihak intelijen Amerika Serikat menyimpulkan bahwa kekusaan Presiden Soekarno mustahil dilawan selama dia masih hidup, “kecuali, tentu saja, jika beberapa teman kita ini mencoba menggulingkannya.”  Inggris juga mengikuti langkah serupa tahun 1964.  Bahkan, Asisten Menteri Luar Negeri Inggris, Edward Peck mengisyaratkan bahwa ‘ada peluang besar untuk mendorong timbulnya suatu kudeta prematur oleh PKI selama Soekarno masih hidup.’
Awal tahun 1965, ada peristiwa yang membuat Amerika Serikat dan barat makin tidak sabar untuk menghajar PKI dan menggulingkan Soekarno.  Pertama, keputusan Soekarno menarik Indonesia keluar dari PBB.  Kedua, para pekerja Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) yang berada di bawah kendali PKI untuk merebut perkebunan-perkebunan yang dimiliki oleh US Rubber Company di Sumatera Utara.  Pada saat bersamaan, Februari 1965 Presiden Soekarno, Waperdam III Soebandrio dan Menteri Perkebunan Frans Seda menyampaikan kepada perwakilan Uni Soviet Rubber Company dan Goodyear, bahwa pemerintah (Indonesia) mengambil “kendali administrative” atas perkebunan-perkebunan karet milik asing dan mendukung pengambil-alihan properti milik barat.
Amerika Serikat tentu gerah dengan aksi-aksi tersebut.  Karena itu, pejabat Amerika Serikat segera memperingatkan “Soekarno dan para komandan militer sudah kami beritahu bahwa begitu terjadi sesuatu yang mengisyaratkan adanya campur tangan terhadap kendali atas Caltex, pengeboran minyak dari Indonesia akan dihentikan.”  Ini ancaman yang serius.  Maklum, jika pengeboran minyak dihentikan, ekonomi Indonesia makin lumpuh.  Peristiwa yang menarik ketika merespon situasi di Indonesia, terutama politik konfrontasi Soekarno terhadap federasi Malaysia, Inggris mempertimbangkan untuk memecah Indonesia menjadi negara-negara kecil.
Pada Februari 1965, CIA mengusulkan untuk memperluas cakupan operasinya di Indonesia, termasuk hubungan rahasia dengan kelompok-kelompok anti-komunis, black letter operation, operasi media, termasuk kemungkinan aksi ‘radio hitam’ dan politik hitam di dalam lembaga-lembaga politik di Indonesia.
Dari uraian di atas, Amerika Serikat dan sekutunya memainkan peran besar dalam memprovokasi situasi di Indonesia.  Dugaan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya turut bermain dalam isu “Dewan Jenderal” dan “Dokumen Gillchrist” sangat mungkin terjadi.  Provokasi-provokasi itu bermakna dua hal yaitu pertama, memancing pendukung Soekarno termasuk PKI dan Angkatan Bersenjata untuk melancarkan operasi kontra-kudeta yang premature, kedua mempertajam peruncingan antara sayap kiri (Soekarno, militer progressif dan PKI) melawan sayap kanan (AD, Masyumi, PSI, dll).
b.    Peristiwa G30S 1965 dan Pembantaian Massal
Gerakan prematur yang dilancarkan oleh sekelompok Angkatan Darat (AD) untuk menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal yang ironisnya memperlihatkan Biro Khusus PKI merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh Angkatan Darat yang anti-komunis dan sekutu internasionalnya (negara-negara kapitalis).  Dengan itu dapat disimpulkan bahwa G30S dijadikan dalih atau justifikasi bagi Soeharto, Angkatan Darat dan pendukung internasionalnya untuk melakukan pembasmian terhadap PKI.
Begitu G30S dipatahkan, tanggal 1 Oktober 1965 pejabat Washington tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kemungkinan Angkatan Darat tidak menggunakan peluang itu untuk menumpas habis PKI.  Kabel CIA tertanggal 17 Oktober 1965 menunjukkan “CIA memperingatkan bahwa Angkatan Darat boleh jadi cukup puas dengan hanya melakukan tindakan terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pembunuhan Jenderal dan membiarkan Soekarno memperoleh kembali sebagian besar kekuasaannya.”
Dubes Inggris di Indonesia, Andrew Gilchrist menyerukan dilakukannya “propaganda dini yang (direncanakan) secara hati-hati dan aktivitas perang urat syaraf guna memperburuk perselisihan di dalam negeri (Indonesia) dan memastikan pembasmian dan penghalauan PKI oleh tentara Indonesia.”  Telegram Kedubes Amerika Serikat tanggal 5 Oktober 1965 mengatakan “pemerintah Amerika Serikat, Inggris dan Australia berusaha membantu Angkatan Darat dengan menciptakan propaganda mengenai kesalahan, penghianatan dan kekejaman PKI dan tuduhan mengenai adanya kaitan antara G30S dengan Cina.”  Tanggal 13 Oktober 1965, Menlu Ameirka Serikat Dean Rusk menyimpulkan bahwa sudah tiba waktunya untuk memberi isyarat pihak militer (Indonesia) mengenai sikap Amerika Serikat terhadap perkembangan terkini.  Menurut Rusk, bersedia dan tidaknya Angkatan Darat menuntaskan aksinya terhadap PKI bergantung pada atau harus dipengaruhi Amerika Serikat.
Pada saat yang sama, ajudan Jenderal Nasution mendekati Dubes Amerika Serikat untuk meminta bantuan peralatan komunikasi portabel untuk keperluan panglima Angkatan Darat.  Bantuan Kedubes itu menandai penarikan pengakuan Washington terhadap Soekarno sebagai pemimpin Indonesia yang sah.  Artinya, Washington terang-terang memaksakan campur tangan untuk mengganti pemerintahan sah di Indonesia.
Segera setelah itu, mulai terdengar aksi-aksi pembantaian massal nan keji terhadap anggota dan simpatisan PKI.  Pada tanggal 4 Oktober, Kedubes Amerika Serikat melaporkan bahwa RPKAD di daerah komando Jawa Tengah memberi pelatihan dan senjata kepada pemuda muslim.  Di Sumatera Utara dan Aceh, pemuda IPKI dan unsur-unsur anti komunis mulai dorongan sistematis untuk menumpas PKI.  Peristiwa yang menarik yaitu Kedubes maupun Konsul Amerika Serikat di Indonesia menerima banyak laporan tentang pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI.  Ironisnya, Amerika Serikat menanggapi pembantaian massal itu dengan antusias.  Malah mengintensifkan bantuan kepada tentara dan kelompok anti-komunis.  Peristiwa yang paling menyedihkan adalah komentar pejabat Deplu Amerika Serikat, Howard Federspiel “Tak ada yang peduli jika mereka disembelih, asalkan mereka komunis.”  Dengan keadaan seperti itu dapat ditarik kesimpulan yaitu pertama, Amerika Serikat telah mengeksploitasi G30S sebagai justifikasi untuk menyingkirkan PKI, kedua Amerika Serikat terlibat dalam mendanai, mengoperasikan dan mengintensifkan pembantaian massal terhadap orang-orang PKI.
c.    Pasca G30S
Telegram Kedubes Amerika Serikat tanggal 2 November 1965 mengatakan “negara-negara barat bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan PKI, melainkan juga menyingkirkan Soekarno dan pendukungnya.”  Negara-negara barat khawatir selama Soekarno masih berkuasa, Angkatan Darat akan sulit untuk melakukan perubahan drastis di Indonesia sesuai dengan harapan Amerika Serikat dan sekutunya.  Untuk itu, pejabat Amerika Serikat mulai memikirkan untuk bagaimana membantu Angkatan Darat menyingkirkan Soekarno.
Salah satu aksi paling efektif yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menjatuhkan Soekarno adalah memperburuk situasi ekonomi Indonesia.  Langkah yang menyerupai perang ekonomi ini mempunyai makna membuat pemerintah Soekarno terjepit dengan mengarahkannya pada posisi kebangkrutan, menciptakan ketidakpuasan populer dikalangan rakyat terhadap situasi ekonomi yang memburuk.
Perang ekonomi itu cukup efektif.  Di awal 1966, ekonomi Indonesia di ujung keruntuhan.  Ini dipakai oleh Angkatan Darat dan mahasiswa kanan untuk mendesakkan aksi-aksi menuntut penurunan harga dan mengeritik kegagalan ekonomi Soekarno.  Paling ironis sekaligus benar-benar licik adalah upaya mengalihkan sumber-sumber devisa Indonesia yang seharusnya masuk ke Bank Sentral, justru masuk ke kantong Soeharto dan kelompoknya.  Pada Februari 1966, Caltex tidak lagi membayar kepada Bank Sentral Indonesia, melainkan kepada rekening tak bernama di Belanda.  Ironisnya, Menteri Perkebunan Frans Seda membuat aturan serupa terhadap perusahaan perkebunan Amerika Serikat yang lain seperti Goodyear, Uni Soviet Rubber, dll.  Ini membuat Soekarno benar-benar terjepit.
Dengan situasi ekonomi yang memburuk, ditambah aksi-aksi mahasiswa kanan yang disokong oleh Angkatan Darat dan didanai Amerika Serikat atau sekutunya, popularitas pemerintahan Soekarno merosot.  Hingga akhirnya kekuasaannya dicolong oleh Soeharto pada bulan Maret 1966.  Segera setelah kendali kekuasaan sudah di tangan Soeharto atau militer, Amerika Serikat dan sekutunya mulai merancang transisi di indonesia, termasuk mendesakkan paket-paket ekonomi untuk mengembalikan Indonesia sebagai ‘pejalan kapitalisme barat’.  Pada tahun 1967, disahkanlah UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang sesuai dengan kehendak negara-negara kapitalis barat.  Lembaga-lembaga imperialis seperti IMF, Bank Dunia, IGGI dan LSM-LSM turun tangan untuk membantu Soeharto menata kekuasaannya dan model ekonominya agar benar-benar terbuka bagi kepentingan barat.
Dalam penyusunan UU PMA, misalnya Amerika Serikat mengerahkan konsultan untuk membantu Widjoyo Nitisastro, seorang ekonom pro-barat untuk menyusun UU tersebut.  Setelah selesai, draftnya diserahkan ke Kedubes Amerika Serikat untuk dimintai komentar akan perlunya perbaikan-perbaikan dari pihak investor Amerika Serikat.  Lalu, untuk menguji kesetiaan rezim baru Soeharto terhadap investor asing, maka Freeport yang beroperasi di Papua sebagai ujian pertamanya.  Setelah investor Freeport sukses, investor-investor asing pun mulai berebut jarahan di bumi Indonesia.



BAB 3 PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
Keterlibatan Amerika Serikat dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia dalam makalah ini antara lain meliputi dalam hal keterlibatan Amerika Serikat dalam perpolitikan di Indonesia.  Selanjutnya mengenai keterlibatan CIA (Amerika Serikat) dalam pemberontakan di Indonesia tepatnya pada PRRI/ Permesta.  Keterlibatan AmerikaSerikat lainnya dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia yaitu Amerika Serikat yang juga terlibat dalam kasus pembebasan irian Barat.  Keterlibatan Amerika Serikat dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia yang terakhir yaitu keterlibatan Amerika Serikat dalam Peristiwa G30s pada tahun 1965.
Pada intervensi politik Amerika Serikat masa revolusi kemerdekaan Indonesia ditandai dengan sebuah perundingan diplomatik pertama antara Indonesia dan Belanda yang kemudian dinamakan perundingan Linggajati.  Intervensi Amerika Serikat (CIA) dalam pemberontakan di Indonesia tepatnya pemberontakan PRRI/Permesta, Amerika Serikat menurunkan kekuatan yang tidak main-main.  CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan Amerika Serikat Subic & Clark), Taiwan dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak.  Intervensi Amerika Serikat dalam kasus pembebasan Irian Barat diawali dari adanya kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di berbagai negara di Asia, temasuk Indonesia.  Intervensi Amerika Serikat dalam hal Peristiwa G30s 1965 didasari dua kepentingan besar, yang mana untuk mencapai dua misi itu, Amerika Serikat punya kepentingan untuk menghancurkan PKI.  Sebab PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik Amerika Serikat di Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

2.             http://www.usaid.gov/id/indonesia/cdcs
5.http://hankam.kompasiana.com/2014/02/11/indonesia-negara-boneka-siapa-dalangnya-630866.html

1 komentar: