Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen Pengampu Mata Kuliah Dr. Suranto, M.Pd
Oleh
Nuzulul Khoirunnisa’ (120210302103)
Kelas B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Keterlibatan Amerika
Serikat dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia dalam makalah ini antara
lain meliputi dalam hal keterlibatan Amerika Serikat dalam perpolitikan di
Indonesia. Selanjutnya mengenai
keterlibatan CIA (Amerika Serikat) dalam pemberontakan di Indonesia tepatnya
pada PRRI/ Permesta. Keterlibatan
AmerikaSerikat lainnya dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia yaitu
Amerika Serikat yang juga terlibat dalam kasus pembebasan irian Barat. Keterlibatan Amerika Serikat dalam
pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia yang terakhir yaitu keterlibatan
Amerika Serikat dalam Peristiwa G30s pada tahun 1965.
Pada intervensi politik
Amerika Serikat masa revolusi kemerdekaan Indonesia ditandai dengan sebuah
perundingan diplomatik pertama antara Indonesia dan Belanda yang kemudian
dinamakan perundingan Linggajati. Isi
kesepakatan perundingan Linggajati adalah Belanda dan Indonesia membentuk
negara federal dengan Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagiannya,
Indonesia dan Belanda mendirikan uni Indonesia-Belanda dan penyempitan wilayah
Republik Indonesia menjadi Sumatera, Jawa dan Madura. Bagi Indonesia
hasil perundingan itu sangat mengecewakan, sedangkan bagi Belanda merupakan
kemenangan awal sebelum sampai pada tujuan utamanya menguasai seluruh bagian
bekas tanah jajahan Hindia Belanda.
Menarik untuk diketahui bagaimana tanggapan Amerika Serikat akan hasil
perundingan yang menguntungkan Belanda tersebut.
Intervensi Amerika
Serikat (CIA) dalam pemberontakan di Indonesia tepatnya pemberontakan
PRRI/Permesta, Amerika
Serikat menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan
Amerika Serikat Subic & Clark), Taiwan dan Korea Selatan sebagai pos suplai
dan pelatihan bagi pemberontak. Dari
Singapura, pejabat Konsulat Amerika Serikat yang berkedudukan di Medan dengan
intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro dan Letkol Ventje
Soemoeal. Malam hari, 7 Desember 1957
Panglima Operasi Angakatan Laut Amerika Serikat, Laksamana Arleigh Burke
memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific), Laksamana Felix Stump
menggerakkan kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berbasis di Teluk
Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di
mana pun. Satu divisi pasukan elit
Amerika Serikat, US-Marine di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan
kapal perusak disertakan dalam misi tersebut.
Dalih Amerika Serikat pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan
minyak Amerika Serikat, Caltex di Pekanbaru, Riau.
Intervensi Amerika Serikat dalam kasus pembebasan Irian Barat
diawali dari adanya kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu
sendiri di berbagai negara di Asia, temasuk Indonesia. Kemudian dengan adanya kemampuan dari Amerika
Serikat dalam hal militer dan juga perekonomian itu sendiri memberikan
kekuasaan terhadap negara-negara yang dianggapnya dapat diperoleh kerjasama
baik secara bilateral maupun multilateral.
Berbagai hubungan Amerika Serikat-Indonesia yang pada mulanya dilakukan
oleh Amerika Serikat berawal dari adanya insiden antara awak kapal perang
Potomac dengan penduduk Kuala Batu di Aceh.
Kemudian berlanjut menjadi adanya indikasi keterlibatan Amerika Serikat
dalam operasi Trikora yang menurut Amerika Serikat itu sendiri adalah upaya
pribadi Soekarno yang merusak tatanan perdamaian dan kesejahteraan dunia yang
kemudian dibentuknya opini dunia oleh Amerika Serikat itu sendiri. Di mana pada masa pasca Perang Dunia II,
permasalahan Irian Barat itu sendiri diintervensi oleh Amerika Serikat melalui
pemerintahan kepresidenan Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John
Fitzgerald Kennedy dan sebagainya yang terpengaruh oleh kebijakan luar negeri
Amerika Serikat dari pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Intervensi Amerika Serikat dalam hal Peristiwa G30s 1965
didasari dua kepentingan besar. Pertama Amerika Serikat
berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu yang
terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis agar kembali ke pangkuan
barat. Kedua, menjaga kepentingan ekonomi Amerika Serikat melalui
perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan jika memungkinkan,
memperluasnya. Untuk mencapai dua misi
itu, Amerika Serikat punya kepentingan untuk menghancurkan PKI. Sebab PKI merupakan kekuatan politik utama
yang menentang kepentingan ekonomi-politik Amerika Serikat di Indonesia. Kepentingan Amerika Serikat selanjutnya yaitu
menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan
kepentingan barat.
1.2.
Rumusan
Masalah
1.2.1. Bagaimanakah
kronologis keterlibatan Amerika
Serikat dalam perpolitikan Indonesia pada awal kemerdekaan?
1.2.2. Bagaimanakah
kronologis keterlibatan
CIA (Amerika Serikat) dalam pemberontakan di Indonesia (PRRI/Permesta)?
1.2.4. Bagaimanakah
keterlibatan Amerika Serikat
dalam Peristiwa G30s 1965?
1.3.
Tujuan
1.3.1.Untuk
mengetahui bagaimanakah kronologis keterlibatan Amerika Serikat dalam perpolitikan Indonesia pada awal
kemerdekaan
1.3.2.Untuk mengetahui bagaimanakah kronologis
keterlibatan CIA (Amerika Serikat)
dalam pemberontakan di Indonesia (PRRI/Permesta)?
1.3.3.Untuk mengetahui bagaimanakah intervensi yang dilakukan Amerika Serikat
dalam pembebasan Irian Barat
1.3.4.Untuk mengetahui bagaimanakah keterlibatan
Amerika Serikat dalam Peristiwa G30s 1965
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Keterlibatan Amerika Serikat Dalam Perpolitikan Indonesia Pada Awal Kemerdekaan
Dalam buku Francis Gouda
dan Tijs Brocades dengan judul “Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar
Negeri Amerika Serikat Dan Nasionalisme Indonesia” diperlihatkan beberapa hal
yang baru mengenai kemerdekaan Indonesia.
Pertama, kendati perjuangan senjata penting, kemerdekaan Indonesia yang
secara resmi diakui dunia internasional pada 27 Desember 1949 tidak lepas dari
upaya diplomatik yang melelahkan. Kedua,
adanya keterlibatan Amerika Serikat baik langsung maupun tidak langsung terhadap
proses kemerdekaan Indonesia. Memang
ironis ketika ternyata kemerdekaan yang selama ini dipahami sebagai buah dari
pengorbanan ribuan nyawa hanya ditentukan oleh satu negara, Amerika
Serikat. Akan tetapi, Gouda melihat
bahwa begitulah kenyataanya, paling tidak jika dilihat dari kaca mata Amerika
Serikat. Gouda menunjukkan upaya yang
dilakukan para tokoh nasionalis Indonesia untuk mendapat dukungan Amerika
Serikat terkait kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan pada pertengahan
akhir tahun 1945 tersebut menjadi pertanda bahwa kedudukan Amerika Serikat
sebagai pemenang perang disadari oleh kaum nasionalis Indonesia guna mendapat
dukungan internasional. Namun demikian,
yang menjadi persoalan adalah bagaimana Amerika Serikat menggunakan kekuasaanya
pada saat menanggapi kemerdekaan Indonesia, apakah Amerika Serikat mendukung
kemerdekaan Indonesia ataukah justru menggunakan kesempatan tersebut demi
kepentingan nasionalnya?
Sejarawan Baskara T.
Wardaya dalam buku “Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin,
1953-1963” menyatakan bahwa pandangan politik Amerika Serikat terhadap
Indonesia didasari oleh kepentingan politik dan ekonomi. Secara politik, Belanda merupakan sekutu
terdekat Amerika Serikat. Sedangkan
secara ekonomis Amerika Serikat sadar bahwa Indonesia merupakan aset yang sangat
potensial dengan posisi strategis ditambah dengan kekayaan alam melimpah,
sehingga keuntungan lebih mungkin didapat apabila Indonesia diserahkan kepada
Belanda. Meski dua kepentingan itu
adalah motif utamanya, Perang Dingin yang terjadi kemudian antara Amerika
Serikat (blok barat) dan Uni Soviet (blok timur) menjadi agenda yang tak kalah
penting. Jika semula Indonesia dilihat
sisi kelimpahan kekayaan alam yang menggiurkan, kini Indonesia dilihat sebagai
suatu ancaman bagi persebaran ideologi komunisme.
Intervensi politik
Amerika Serikat pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia ditandai dengan sebuah
perundingan diplomatik pertama antara Indonesia dan Belanda yang kemudian
dinamakan perundingan Linggajati. Isi
kesepakatan perundingan Linggajati adalah Belanda dan Indonesia membentuk
negara federal dengan Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagiannya,
Indonesia dan Belanda mendirikan uni Indonesia-Belanda dan penyempitan wilayah
Republik Indonesia menjadi Sumatera, Jawa dan Madura. Bagi Indonesia
hasil perundingan itu sangat mengecewakan, sedangkan bagi Belanda merupakan
kemenangan awal sebelum sampai pada tujuan utamanya menguasai seluruh bagian
bekas tanah jajahan Hindia Belanda. Menarik
untuk diketahui bagaimana tanggapan Amerika Serikat akan hasil perundingan yang
menguntungkan Belanda tersebut. Seorang
Pejabat Menteri Luar Negeri Belanda, Dean G. Acheson, misalnya, mengutus
konsulat jendral di Jakarta agar menyampaikan ucapan terimakasih Amerika Serikat
sebesar-besarnya kepada Soekarno, Syahrir dan van Mook atas keberhasilan
ditandatanganinya perundingan tersebut.
Situasi yang tak
menentu dan ketegangan antara Belanda dan Indonesia membuat Amerika Serikat kembali
menyusun strategi politik. Staf kedutaan
Amerika Serikat di Indonesia menyatakan apabila Belanda menggunakan kekerasan
senjata untuk memperbaiki keadaan yang sedang terjadi, maka para pejuangan
Indonesia akan menggunakan taktik bumi hangus yang dapat “membahayakan nyawa
warga Amerika Serikat dan menghancurkan aset-aset Amerika Serikat (terutama
aset milik) perusahaan tambang minyak Standard-Vacuum di ladang minyak yang
terdapat di sebelah barat daya Pelembang”.
Pernyataan itu menunjukkan bahwa sedapat mungkin Amerika Serikat menjaga
agar penyelesaian damai dapat terjadi sehingga kepentingan Amerika Serikat
tidak terusik.
Ketika ketegangan
Indonesia-Belanda tak terbendung lagi, pada pertengahan awal tahun 1947 Belanda
mengingkari kesepakatan Linggarjati dengan mengerahkan kekuatan militernya
untuk menyerang wilayah Republik Indonesia.
Menanggapi keadaan ini secara mengejutkan Amerika Serikat justru
bersikap diam. Sikap politik ini
menunjukan dukungan Amerika Serikat terhadap sekutu terdekatanya, Belanda. Amerika Serikat beranggapan bahwa dengan
membiarkan Indonesia jatuh ke tangan Belanda, maka pengeluaran Amerika Serikat
untuk program pemulihan pasca perang yang diberikan kepada Belanda bisa
diminimalisir. Disamping itu, dukungan
diam-diam Amerika Serikat juga dilatar belakangi oleh laporan mengada-ada
pejabat Belanda yang menyakinkan Amerika Serikat mengenai tokoh kemerdekaan
Indonesia yang disebut-sebut berhaluan komunis.
Pada tanggal 8 Desember
1947 digelar perundingan kembali di atas kapal milik Angkatan Laut Amerika
Serikat, Renville, di Teluk
Jakarta. Perundingan itu menghasilkan
kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan gencatan senjata. Namun, tak lama setelah itu pemerintah
Indonesia dikejutkan oleh peristiwa Madiun 1948. Para tokoh oposisi dibawah naungan PKI yang
mendirikan basis di kota Madiun melancarkan serangan terhadap pemerintah yang
dinilai lemah menghadapi tekanan Belanda. Lebih jauh daripada itu, para pemimpin komunis
ini melawan pemerintah pusat secara lebih keras dengan mengumumkan berdirinya
negara soviet Madiun yang berarti melepaskan diri dari naungan pemerintahan
Indonesia. Pada tanggal 30 September
tahun itu, pemerintah Indonesia berhasil mematahkan pemberontakan kaum
komunis. Prestasi Indonesia ini menjadi
titik balik bagi pandangan Amerika Serikat atas pemerintah Indonesia yang
sebelumnya dicurigai sebagai pemerintahan komunis. Akibatnya, pemerintah Amerika Serikat berubah
haluan menjadi pendukung kemerdekaan Indonesia.
Selain citra pemerintah
Indonesia yang anti-komunis, dukungan Amerika Serikat dilandasi pula oleh sikap
agresif militer Belanda yang tidak disenangi oleh dunia internasional. Karena semakin kuatnya tekanan internasional
dan dalam negeri Amerika Serikat, maka pada 31 Maret 1949 Menteri Luar Negeri
AS, Dean Acheson,memberitahu menteri luar negeri Belanda yang sedang berkunjung
ke Amerika Serikat, Dirk Stikker bahwa Amerika Serikat ingin melihat suatu
penyelesaian yang cepat atas konflik Belanda-Indonesia. Akhirnya, ketika dibuka sebuah konferensi
penyelesaian konflik di Den Hag Belanda (Konferensi Meja Bundar), Menteri Luar
Negeri kepada delegasi Amerika Serikat menyampaikan harapan agar dapat dicapai
kesepakatan bersama karena “Amerika Serikat sangat berkepentingan dengan hasil
akhir dari kontroversi (pertikaian) ini”.
Seakan menandaskan bahwa kepentingan yang dimaksud adalah pencegahan
“bahaya” komunis, Acheson menambahkan “Kecuali bahwa suatu penyelesaian damai
dengan baik, yang hingga batas-batas tertentu memberi ruang bagi aspirasi
rakyat Indonesia, disepakati oleh kedua belah pihak, Asia Tenggara dan
Indonesia akan lebih rentan terhadap ekspansi komunis”. Tanggal 27 Desember 1949, kesepakatan KMB Den
Hag berhasil dicapai. Kemerdekaan
Indonesia diakui dunia internasional, meskipun untuk sementara masalah Irian
Barat tertangguhkan.
Uraian di atas
menunjukan perubahan politik Amerika Serikat setelah pemberotakan Madiun 1948. Jika sebelumnya Amerika Serikat mendukung
penguasaan kembali Indonesia oleh Belanda, maka setelah bergulirnya Perang Dingin
dan Amerika Serikat mengetahui bahwa pemerintahan Soekarno adalah anti-komunis,
Amerika Serikat secara implisit mendukung kemerdekaan Indonesia dengan cara
mendesak Belanda agar segera menyelesaikan konflik secara damai. Meski demikian, perlu diingat bahwa tekanan Amerika
Serikat tersebut tidak lepas dari kepentingan menjaga aset ekonomis dan
melindungi Indonesia dari ekspansi komunis.
2.2.
Keterlibatan CIA (Amerika Serikat) Dalam Pemberontakan Di Indonesia (PRRI/PERMESTA)
Kemenangan kaum komunis dalam
Revolusi Merah Oktober 1917 begitu mencemaskan Amerika Serikat. Sejak itu, Amerika Serikat merancang satu
strategi untuk menghancurkan Rusia. Pada
8 Januari 1918, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson mengumumkan Program 14
Pasal. Dalam suatu komentar rahasia
mengenai program ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan
mencerai-beraikan Uni Soviet sudah direncanakan dan dikemudian benar-benar
dihancurkan di tahun 1992. Truman
Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947. Disusul dengan Marshall Plan tahun berikutnya
guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. Dalam program Marshall Plan tersebut,
Indonesia merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang tercakup
dalam rencana dasar Marshall Plan.
Akibatnya, bantuan keuangan Amerika Serikat kepada Belanda menyebabkan
Den Haag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap
pemerintah RI yang berpusat di Yogyakarta kala itu. Bukan itu saja, Washington juga secara
rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Hal itu bisa terbaca ketika tentara Belanda
kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu
Belanda mengenakan seragam marinir Amerika Serikat dan mengendarai jeep
Angkatan Darat Amerika Serikat. Bahkan
Amerika Serikat diyakini turut membantu Belanda dalam serangan Agresi Militer
Belanda II atas Yogyakarta pada 18 Desember 1948.
Perhatian Amerika Serikat terhadap Indonesia sangat besar
sejak sebelum Perang Dunia II yang disebabkan letaknya yang sangat strategis
dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa.
Untuk itu Amerika Serikat pun membangun basecamp nya dibeberapa titik antara lain pada 8 September 1951,
Amerika Serikat mendirikan pangkalan militer di Okinawa-Jepang, pangkalan Clark
dan Subic di Philipina berdiri pada 30 Agustus 1951, ANZUS (Australia, New
Zealand and Amerika Serikat) berdiri pada 1 September 1951, Korea Selatan pada
1 Oktober 1953 dan Taiwan pada 2 Desember 1954.
Hebatnya, semua perkembangan global di atas telah dipelajari dengan
seksama oleh Presiden RI Soekarno yang sejak muda sudah menunjukkan kekritisannya. Soekarno tahu jika negerinya ini menyimpan
kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu
dia sungguh-sungguh paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh
menjadi sebuah negeri yang besar dan makmur.
Sikap Soekarno inilah yang membuatnya menentang segala bentuk Neo
Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dimana Amerika Serikat menjadi
panglimanya. Dalam pandangan Soekarno, Uni
Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang Amerika Serikat karena Uni Soviet belum
pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis
adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan Amerika Serikat. Atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak
mau tunduk pada keinginan Amerika Serikat guna membentuk Pan-Pacific untuk
melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada
sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di
mana Amerika Serikat menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi
Amerika Serikat untuk menundukkan Soekarno kecuali menyingkirkannya.
Pada 1957, untuk memperkuat perekonomian nasional, Soekarno
bertindak cepat mengambil langkah berani dan cerdas dengan menasionalisasi
aset-aset milik Belanda. Soekarno tahu
jika rakyat tentu mendukung penuh langkah ini. Namun Soemitro dan rekan-rekannya yang pro
barat dengan berani menentang Soekarno dan malah bergabung dengan para
pemberontak PRRI/PERMESTA yang didukung penuh oleh CIA. Dalam waktu bersamaan, November 1957 terjadi
percobaan pembunuhan terhadap Soekarno yang dikenal dengan Peristiwa
Cikini. Soekarno selamat namun 9 orang
tewas dan 45 orang disekelilingnya terluka.
Edisi koleksi angkasa berjudul “Dirty War, Mesiu di Balik Skandal
Politik dan Obat Bius” memaparkan keterlibatan CIA dalam peristiwa ini. Pemerintah kala itu mendeteksi jika tindakan
tersebut didalangi oleh komplotan ektrem kanan yang dimotori Letkol Zulkifli
Loebis, pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI), cikal bakal BIN dan
didukung CIA. Dengan tegas Soekarno mengatakan
jika CIA berada di belakang usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya. Tudingan Soekarno terbukti. Dalam satu sesi pertemuan Komite Intelijen
Senat Amerika Serikat yang diketuai Senator Frank Church dengan Richard Bissel
Jr, mantan wakil Direktur CIA bidang perencanaan operasi, 22 tahun kemudian
terungkap jika saat itu nama Soekarno memang sudah masuk dalam target operasi
Direktur CIA, Allan Dulles.
Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA, Amerika Serikat
menurunkan kekuatan yang tidak main-main.
CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan Amerika Serikat Subic
& Clark), Taiwan dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi
pemberontak. Dari Singapura, pejabat
Konsulat Amerika Serikat yang berkedudukan di Medan dengan intensif
berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro dan Letkol Ventje Soemoeal. Malam hari, 7 Desember 1957 Panglima Operasi
Angakatan Laut Amerika Serikat, Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima
Armada ke-7 (Pacific), Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan Angkatan Laut
Amerika Serikat yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke
Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit Amerika Serikat, US-Marine di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih Amerika Serikat pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak Amerika Serikat, Caltex di Pekanbaru, Riau.
Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit Amerika Serikat, US-Marine di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih Amerika Serikat pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak Amerika Serikat, Caltex di Pekanbaru, Riau.
Selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin lengkap
dengan amunisi dan aneka granat kepada para pemberontak, CIA juga mendrop
sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut
pasukan, aneka jeep, pesawat tempur, pembom dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesawat tempur Angkatan Udara
Filipina dan Angkatan Udara Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26
Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5
Catalina dipinjamkan CIA kepada pemberontak.
Sebab itulah pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya sendiri yang
dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa
pilot pesawat tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer
Amerika Serikat, Korea Selatan, Taiwan dan juga Filipina. Awalnya pemerintah Amerika Serikat membantah
keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA. Namun sungguh ironis, tidak sampai tiga pekan
setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu, pada 18 Mei 1958 sebuah pesawat
pengebom B-29 milik Amerika Serikat ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan
udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pilot tempur pesawat tersebut yaitu Allan
Lawrence Pope, agen CIA yang sengaja ditugaskan membantu pemberontakan guna
menggulingkan Soekarno berhasil ditangkap hidup-hidup.
Atas gertakan Amerika Serikat yang sampai mengerahkan
kekuatan dua batayon US Marine dengan Armada ke-7 nya ke perairan Riau, Soekarno
sama sekali tidak gentar dan balik mengancam Amerika Serikat agar jangan ikut
campur terlalu jauh ke dalam masalah internal NKRI. Pada saat itu Soekarno segera mengirim satu
pasukan besar di bawah pimpinan Ahmad Yani untuk melibas para pemberontak di
Sumatera. Saat itu RRC telah menyiapkan
skuadron udaranya serta ribuan tentara regulernya untuk bergerak ke Indonesia
guna membantu Soekarno memadamkan pemberontakan yang didukung CIA tersebut,
namun Soekarno menolaknya. Hanya dalam
hitungan jam setelah pasukan Ahmad Yani mendarat di Pekanbaru, Padang serta
Bukit Tinggi pusat konsentrasi para pemberontak, maka kota-kota penting itu pun
direbut tanpa perlawanan yang berarti. Bahkan
pesan rahasia CIA kepada para pimpinan pemberontak sebelum mundur dari Riau
mereka harus meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon
US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam
pasukan Ahmad Yani dan setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna
menumbangkan Soekarno, ini sama sekali tidak sempat dilakukan. Pada Juni 1958, pemberontakan ini berhasil
ditumpas. Sumitro Djojohadikusumo dan
sejumlah tokoh yang terlibat pemberontakan meloloskan diri ke Singapura.
Walau awalnya Amerika Serikat membantah keterlibatannya,
namun mantan Dubes Amerika Serikat Howard P. Jones mengakui jika dirinya tahu
jika CIA ada di belakang pemberontakan itu.
Hal ini ditegaskan Jones dalam memoarnya “Indonesia: The Possible Dream”
(1990; h.145). Upaya CIA menumbangkan Soekarno
selalu menemui kegagalan. Dari membuat
film porno “Bung Karno”, sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai cara. Hal ini menjadikan CIA harus bekerja ekstra
keras. Apalagi Soekarno secara cerdik
akhirnya membeli senjata dan peralatan militer ke negara-negara Blok Timur
dalam jumlah besar setelah Amerika Serikat menolak memberikan peralatan
militernya. Amerika Serikat tentu tidak
ingin Indonesia lebih jauh bersahabat dengan Blok Timur. Sebab itu, setelah gagal mendukung
PRRI/PERMESTA, sikap Amerika Serikat jadi lebih lunak terhadap Indonesia. Namun walau di permukaan Amerika Serikat
tampak kian melunak, sesungguhnya Amerika Serikat tengah melancarkan ‘operasi
dua muka’ terhadap Indonesia. Di
permukaan Amerika Serikat ingin terlihat memperbaharui hubungannya dengan Soekarno,
namun diam-diam CIA masih bergerak untuk menumbangkan Soekarno dan menyiapkan
satu pemerintah baru untuk Indonesia yang mau tunduk pada kepentingan Amerika
Serikat.
Di sisi lain, CIA juga menggarap satu proyek membangun
kelompok elit birokrat baru yang pro barat yang kini dikenal sebagai ‘Berkeley
Mafia’. Sumitro dan Soedjatmoko
merupakan tokoh penting dalam kelompok ini.
Terbukanya upeti besar dari Asia yaitu tumbangnya Soekarno dan naiknya
Jenderal Soeharto disambut gembira pihak Washington. Presiden Amerika Serikat Richard M. Nixon
sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya
upeti besar dari Asia”. Indonesia
memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar
biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti
harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang
ada, maka oleh Jenderal Soeharto, kunci peti harta karun ini justru digadaikan
dengan harga murah kepada Amerika Serikat.
Apalagi pada masa pemerintahan saat ini.
Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan
imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967. Jenderal Soeharto mengirim satuan tim ekonomi
yang dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tim yang kelak disebut sebagai Mafia Berkeley
tersebut menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin
Rockefeller. Dalam pertemuan inilah
tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya
oleh mereka dan dibagikan kepada
korporasi-korporasi asing. Freeport mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss yang dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World) dan semua CEO korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
korporasi-korporasi asing. Freeport mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss yang dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World) dan semua CEO korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Sejak kegagalan mendukung PRRI/PERMESTA, National Security Council
(NSC) lewat CIA terus memantau perkembangan situasi Indonesia secara intens. Sejumlah lembaga-lembaga sipil dan militer Amerika
Serikat juga sangat aktif menggodok orang-orang Indonesia yang dipersiapkan
duduk di kursi kekuasaan paska Soekarno.
Orang yang dijadikan penghubung antara CIA dan Soeharto dalam hal ini
adalah Adam Malik. Untuk membangun satu
kelompok militer, terutama Angkatan Darat di Indonesia yang ‘baru’ (pro Amerika
Serikat), Amerika Serikat menyelenggarakan pendidikan militer untuk para
perwira Indonesia ini di Fort Leavenworth, Fort Bragg dan sebagainya. Pada masa antara 1958-1965 jumlah perwira
Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat menjadi 4.000 orang. (Suroso;
2008; h. 373). Amerika Serikat telah
memanfaatkan para pejabat Indonesia yang pro barat ini untuk memuluskan
kepentingannya. Bahkan Tim Werner dalam
“Legacy of Ashes: A History of CIA” (2007) menulis jika Adam Malik telah
direkrut menjadi agen CIA lewat pengakuan seorang mantan agen CIA bernama
McAvoy. Walau yang terakhir ini sempat
jadi polemik, namun kedekatan Adam Malik dan kawan-kawan dengan para pejabat Amerika
Serikat saat itu adalah suatu fakta sejarah.
Dalam fase awal
kekuasaannya, Jenderal Soeharto didampingi oleh dua tokoh Orde Baru yang
sama-sama Amerikanis yakni Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX dikenal
sebagai Triumvirat Orde Baru. Pada Juli
1966, seorang pejabat CIA bernama Clarence “Ed” Barbier mendarat di Jakarta. Jabatan resminya adalah Asisten Khusus Duta
Besar Amerika Serikat. David Ransom di
dalam artikel “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya
Baru dari Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia”
(Ramparts; 1971) dengan jujur memaparkan bagaimana Amerika Serikat lewat CIA
membangun satu kelompok elit baru guna memimpin satu Indonesia yang tunduk pada
kepentingan kekuatan Neo-Imperialisme dan Neo-Kolonialisme Barat. Bahkan sesungguhnya Amerika Serikatlah yang
merancang dan menyusun strategi pembangunan nasional negeri ini yang dikenal
dengan istilah Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) lewat satu tim
asistensi CIA dan sejumlah think-tank Amerika Serikat yang bekerja di belakang
para teknokrat dan birokrat rezim Orde Baru.
Para pejabat pendiri
Orde Baru seperti Adam Malik, Sumitro, Soedjatmoko dan sebagainya memang
dikenal amat dekat dengan para pejabat Amerika Serikat, baik yang bekerja di
Jakarta maupun Washington. Lewat CIA,
Amerika Serikat telah memanfaatkan para pejabat Indonesia yang anti Soekarno
ini untuk memuluskan kepentingannya.
Salah satu operasi rahasia CIA di Indonesia di awal era Orde Baru adalah
operasi HABRINK yang berbasis di Konsulat Amerika Serikat di Surabaya. Saat itu, rezim Soeharto ‘menerima’ warisan
perlengkapan dan persenjataan perang dari negara-negara Blok Timur seperti
Chekoslovakia dan Uni Soviet. Kebetulan
Amerika Serikat tengah berperang di medan tempur Indocina dan menghadapi pihak
lawan yang menggunakan peralatan perang seperti yang ada di Indonesia. Operasi rahasia yang digelar pada 1967 ini
bertujuan untuk mendapatkan detil teknis dan juga contoh barang perlengkapan
militer Uni Soviet seperti Rudal SA-2, kapal selam kelas Whiskey, kapal perang
jenis Riga dan pesawat pembom Tu-16.
Operasi ini dibuka kepada umum ketika salah seorang pejabat CIA yang
terlibat dalam operasi ini, David Henry Bennet dihukum pada 1980 karena
diketahui telah menjual detail operasi ini kepada pihak Uni Soviet. Hal ini berasal dari catatan Bakin Personnel
File atau BPF dengan title ‘David Henry Barnett’”, tulis Conboy dalam bukunya
(h.57). Clarence Barbier, demikian tulis Conboy bekerja dengan mulus di
Indonesia disebabkan kesamaan agenda antara Amerika Serikat dengan rezim
Soeharto yakni memerangi komunisme.
Dalam tugasnya, Barbier
merekrut sejumlah orang Indonesia baik militer maupun sipil. Lewat hubungan yang amat baik dengan Kolonel
CPM Nicklany Soedardjo, seorang perwira didikan Amerika Serikat (lulusan Fort
Gordon, 1961), Barbier berhasil merekrut seorang tokoh Perti (Partai Tarbiyah
Indonesia) bernama Suhaimi Munaf yang oleh Soeharto dianggap dekat dengan
orang-orang komunis. Suhaimi sendiri
pernah ditangkap pada Februari 1967 dengan tuduhan telah melakukan kejahatan
politik. Sekitar Agustus 1968, menjelang
kebebasan Suhaimi Munaf, Barbier meminta kepada Kol. CPM Nicklany agar
melakukan serangkaian tes psikologi terhadap Suhaimi. Hasil tes menunjukkan Suhaimi memiliki mental
baja, keras kepala dan tidak mudah dipengaruhi.
Hasil yang sesuai dengan keinginan CIA.
Kemudian Suhaimi berhasil direkrut CIA dan dikirim ke Pulau Buru dengan
menyandang nama sandi Friendly. Di pulau
tempat pembuangan dan penahanan orang-orang komunis ini, Suhaimi mendapat tugas
untuk menjalin hubungan lagi dengan kolega kirinya baik yang berada di dalam maupun
luar negeri. Dengan memanfaatkan simpati
atas penahanannya, ia mencari-cari pekerjaan di kedutaan negara asing komunis.
Kerjasama Kol. Nicklany
dengan Barbier tidak berhenti di sini saja. Pada awal 1968, Nicklany yang menjabat sebagai
Asisten Intelijen Kopkamtib kepada orang-orang terdekatnya menyatakan ingin
membentuk satuan tugas kontra intelijen asing guna menangkap mata-mata asing
yang beroperasi di Indonesia. “Mata-mata
aing” di sini tentu saja memiliki arti sebagai mata-mata Blok Timur karena
dengan CIA dan sekutunya, Nicklany malah bekerjasama. Satuan tugas ini akhirnya terbentuk dengan
anggota inti sebanyak enam puluh orang, sepuluh perwira aktif dan sisanya sipil
dan menyandang nama resmi “Satuan Khusus Pelaksana Intelijen” atau Satsus-Pintel
yang kemudian diringkas menjadi “Satuan Khusus Intelijen” atau
Satsus-Intel. Satuan ini mendapatkan
dana dari CIA lewat Barbier termasuk gaji personelnya, lalu bantuan kendaraan
untuk kegiatan pengamatan (surveilance), biaya sewa rumah-aman (safe house) di
Jalan Jatinegara Timur-Jakarta dan tape recorder mutakhir merk Sony TC-800
serta perangkat penyadap telepon canggih QTC-11. Hingga awal 1970, Satsus-Intel mendapat 16
sepeda motor, 3 sedan Mercedes, 2 Toyota Corolla, 3 Volkswagen, 1 Toyota Jeep
dan 1 Minibus Datsun dengan kaca belakang yang dilapisi penutup agar minibus
ini digunakan untuk melakukan pemotretan rahasia dan semuanya tersebut dari
CIA. Jenderal Sumitro
Pangkopkamtib dengan terus terang menyatakan jika pihaknya memang menjalin kerjasama yang erat dengan MOSSAD Israel, CIA dan juga MI-6 Inggris dalam hal penumpasan komunis. Dalam hal ini Sutopo Yuwono, Kharis Suhud dan Nicklany diizinkan (Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; 1994; h. 251).
Pangkopkamtib dengan terus terang menyatakan jika pihaknya memang menjalin kerjasama yang erat dengan MOSSAD Israel, CIA dan juga MI-6 Inggris dalam hal penumpasan komunis. Dalam hal ini Sutopo Yuwono, Kharis Suhud dan Nicklany diizinkan (Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; 1994; h. 251).
2.3. Intervensi Amerika Serikat Dalam Pembebasan Irian Barat
Indikasi dari adanya keterlibatan dan intervensi Amerika
Serikat di Irian Barat itu sendiri memiliki permasalahan yang cukup signifikan.
Hal ini diawali dari adanya kepentingan
serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di berbagai negara di
Asia, temasuk Indonesia. Kemudian dengan
adanya kemampuan dari Amerika Serikat dalam hal militer dan juga perekonomian
itu sendiri memberikan kekuasaan terhadap negara-negara yang dianggapnya dapat
diperoleh kerjasama baik secara bilateral maupun multilateral. Berbagai hubungan Amerika Serikat-Indonesia
yang pada mulanya dilakukan oleh Amerika Serikat berawal dari adanya insiden antara
awak kapal perang Potomac dengan penduduk Kuala Batu di Aceh. Kemudian berlanjut menjadi adanya indikasi
keterlibatan Amerika Serikat dalam operasi Trikora yang menurut Amerika Serikat
itu sendiri adalah upaya pribadi Soekarno yang merusak tatanan perdamaian dan
kesejahteraan dunia yang kemudian dibentuknya opini dunia oleh Amerika Serikat
itu sendiri.
Kesinambungan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan
masalah-masalah keamanan yang dilakukannya tersebut memiliki ciri yang
bertentangan. Ciri khas politik Amerika
Serikat itu sendiri memiliki kolaborasi yang seimbang antara memeilihara,
melindungi dan memperluas kepentingan Amerika Serikat itu sendiri di seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Tetapi peran
politik yang paling penting dan realistik dalam kancahnya di Irian Barat adalah
politik intervensionis. Di mana pada
masa pasca Perang Dunia II, permasalahan Irian Barat itu sendiri diintervensi
oleh Amerika Serikat melalui pemerintahan kepresidenan Harry S. Truman, Dwight
D. Eisenhower, John Fitzgerald Kennedy dan sebagainya yang terpengaruh oleh
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dari pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam suatu pemerintahan liberal maupun kebijakan luar negeri
yang dijalankan Amerika Serikat, terdapat peran kaum neokonservatif yang
melakukan rekayasa sosial. Rekayasa
sosial terbentuk dari sebuah gerakan dengan visi tertentu yang bertujuan untuk
mempengaruhi perubahan sosial, tetapi dalam konteks social engineering
(rekayasa sosial) yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat adalah dengan
melakukan penyebaran demokrasi terhadap negara-negara yang masih diktator. Dalam hal ini Soekarno dianggap sebagai
seorang diktator yang menghalangi kepentingan Amerika Serikat di Indonesia
khususnya Irian Barat pada masa pasca Perang Dingin tersebut.
Keterlibatan Amerika Serikat itu sendiri tidak terlepas dari
adanya peran Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia yang baru
merdeka pada tahun 1945. Pengaruh-pengaruh
Blok Timur di Indonesia mulai dikesampingkan oleh presiden Amerika Serikat pada
saat itu yaitu Harry S. Truman di mana konflik kependudukan dan geografi Irian
Barat itu sendiri berakar dari adanya kepentingan Amerika Serikat untuk tetap
menjadikan Indonesia sebagai bagian dari negara-negara penganut Blok Barat, tetapi
dengan adanya peran Soekarno yang bersikap tegas dan tidak mudah untuk diatur,
Amerika Serikat menggunakan kesempatan tersebut di mana pada saat itu Indonesia
sedang melakukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan terhadap Belanda untuk
membantu Belanda mengklaim Irian Barat sebagai daerah yang diklaim Belanda
dalam jajahannya agara Indonesia tetap condong ke Blok Barat di bawah pengaruh
Belanda.
Bentuk lain dari Doktrin Truman yang berlaku di Eropa juga
diaplikasikan dalam penolakan bantuan militer terhadap Indonesia dalam melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Hal ini
dikarenakan sikap Soekarno yang juga mendukung komunisme dalam masa Perang
Dingin sehingga adanya indikasi bahwa tidak percayanya Amerika Serikat terhadap
Indonesia untuk terus berada di Blok Barat. Sedangkan mempertahankan Irian Barat dianggap
sebagai suatu sikap atau bentuk perlawanan terhadap imperialisme yang
berkepanjangan antara negara-negara Blok Barat tersebut. Kembali ke pemikiran-pemikiran neokonservatif
yang dimiliki oleh institusi-institusi Amerika Serikat itu sendiri, perlu
diketahui bahwa demokrasi yang menjadi objek penyebaran pemerintah Amerika
Serikat dipercaya menjadi jawaban bagi keinginan masyarakat untuk kehidupan
yang lebih baik dan demokrasi dipercaya oleh kaum neokonservatif sebagai
hak-hak dasar manusia walaupun kaum neokonservatif sendiri mengabaikan nilai-nilai
fungsi sipil yang kritis. Demokrasi juga
disalahpahami sebagai suatu sistem yang menguntungkan sebuah negara karena
dibebaskannya negara tersebut dari kediktatoran. Hal yang ingin ditekankan adalah kasus Irian
Barat dalam pandangan Truman merupakan suatu bentuk kesempatan ataupun
eksperimen untuk mempersatukan serta mengayomi pihak militer Indonesia untuk
melepaskan diri dari pihak Indonesia.
Berlanjut pada masa pemerintahan Dwight D. Eisenhower di mana
adanya keterlibatan seorang agen CIA bernama Allen Pope yang dianggap memiliki
peran penting dalam proses intervensi pemerintahan Amerika Serikat di Indonesia
dan membuka peluang penting dalam menyibak kabut keterlibatan Amerika Serikat
di Irian Barat. Pada tahun 1950 juga
bentuk politik Amerika Serikat terhadap Indonesia memiliki beberapa faktor yang
relevan dengan adanya permasalah baik di internal maupun eksternal Indonesia dan
Amerika Serikat itu sendiri. Seperti
tindakan-tindakan sensitive yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat
karena adanya gerakan-gerakan yang menjurus kearah komunisme Blok Timur, lalu
pada waktu itu pemerintah Indonesia memperoleh dukungan yang luas dari rakyat
beserta instrument-instrumen kenegaraannya yang luas sehingga adanya
kecenderungan munculnya pengaruh yang memecah belah, lalu metode politik
Indonesia yang tidak sesuai dengan demokrasi Amerika Serikat itu sendiri juga
menjadi permasalahan lain dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat di
Indonesia sendiri, kemudian adanya ketidaksenangan pihak Amerika Serikat karena
akan adanya gerakan politik yang memperjuangkan Irian Barat (yang pada saat itu
masih dijajah Belanda). Sehingga bantuan
luar negeri yang Amerika Serikat berikan, tersangkut oleh adanya faktor-faktor
tersebut.
Kemudian cara persuasif yang lebih halus dan tanpa penekanan
dilakukan oleh John F. Kennedy dalam masa pemerintahannya terhadap Soekarno. Adanya pengeluaran biaya dalam pembelian
alat-alat militer dan bantuan secara militer ditawarkan oleh Kennedy untuk
aksi-aksi pembebasan Irian Barat dan berbagai permasalahan lainnya di Indonesia
terhadap Soekarno. Hal ini memberikan
jalan lain setelah terkuaknya kasus dugaan percobaan pembunuhan Soekarno pada 3
Juni 1965. Setelah adanya pembebasan
Allen Pope itu sendiri yang dimuat di New York Times pada 23 Agustus 1962, orang
yang dihukum seumur hidup dikembalikan ke Amerika Serikat secara rahasia oleh
Robert F. Whitney. Dalam surat kabarnya
menyebutkan Allen Lawrence Pope, penerbang Amerika Serikat yang menjalani
hukuman seumur hidup dalam penjara di Indonesia dibebaskan pada tanggal 2 Juli
dan selama beberapa minggu sudah berada di Amerika Serikat. Menurut Reap, pilot itu dibebaskan sebagai
bagian dari amnesti umum dan Amerika Serikat tidak memberikan konsesi untuk
memperoleh pembebasannya. Hal ini
memberikan adanya perubahan pandangan pembebasan warga negara Amerika Serikat
yang sebelumnya mendapatkan sanksi hukuman seumur hidup menjadi bebas tanpa
syarat dan dikembalikan ke negaranya. Keterlibatan
Amerika Serikat dalam berbagai perjuangan politik Indonesia pun terkuat melalui
penangkapan Allen Pope sebagai agen CIA yang menyamar tersebut.
Dalam operasi Trikora yang disebut juga sebagai upaya yang dilancarkan
Indonesia untuk menggabungkan wilayah Irian Barat terkait dengan nasionalisme
yang ditekankan pada masa pemerintahan Soekarno sehingga pada tanggal 19
Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di
Alun-alun Utara Yogyakarta. Pembentukan
berbagai komando dan penyelenggaraan operasi-operasi militer juga diberlakukan
Soekarno dalam penanggulangan permasalahan di Irian Barat tersebut. Kepentingan awal yang mengakar pada masa
Perang Dingin tersebut adalah adanya penyebaran demokrasi.
Dari kasus-kasus yang sudah terjadi, kesuksesan penyebaran
demokrasi memiliki tiga kerakteristik yang bisa dijadikan sebagai pembanding
antara lain :
1. Adanya
inisiatif yang datang dari masyarakat yang bersangkutan
2. Bentuk
dukungan eksternal hanya bekerja di rezim semi-otoriter yang memerlukan tahap
pemilihan serta adanya kebebasan bagi kelompok masyarakat sipil untuk
berorganisasi
3. Daya
penerimaan kekuatan pro-demokrasi dari negara luar sangat bergantung kepada
sejarah spesifik masyarakat dan jenis dari nasionalisme penduduk setempat yang
ada.
Peran Amerika Serikat dalam penyebaran demokrasi yang terjadi
melalui dan melewati konflik yang terjadi di Irian Barat tersebut berkelanjutan
dengan adanya desakan-desakan Amerika Serikat terhadap Belanda untuk terus
melakukan perundingan-perundingan dengan pihak Indonesia. Sehingga untuk menghindari konfrontasi yang
lebih lanjut, diadakanlah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan
pemerintah Belanda di New York yang dikenal dengan nama Perjanjian New York. Dalam hal inilah peran aktif dan langsung
yang dimiliki oleh Amerika Serikat terhadap permasalahan Irian Barat terlihat
jelas. Keterlibatan maupun intervensi
Amerika Serikat dalam permasalahan Irian Barat tersebut tidak terlepas dari adanya
peran Soekarno sebagai presiden yang memimpin pada masa perjuangan Irian Barat
tersebut. Kemudian
keterlibatan-keterlibatan Amerika Serikat terlihat jelas melalui adanya
peran-peran CIA dan organisasi lainnya dalam proses intervensi politik Indonesia
oleh Amerika Serikat sendiri termasuk permasalahan Irian Barat serta berujung
kepada permohonan pembebasan Allan Pope untuk kembali ke Amerika Serikat. Ketakutan Amerika Serikat terlihat di dalam
cara penanganan-penanganan permasalahan Irian Barat yang memerlukan
rekayasa-rekayasa sosial dalam hal militer dan juga ekonomi, walaupun mendapat
perlawanan dari Soekarno itu sendiri. Permasalahan
Irian Barat pun dianggap sebagai suatu kesempatan untuk memecah Indonesia untuk
kembali di bawah jajahan Belanda sebagai bagian dari Blok Barat di masa Perang
Dingin tersebut, di mana kebijakan presiden Amerika Serikat juga berperan di
dalamnya pada masa itu.
2.4. Keterlibatan Amerika Serikat Dalam Peristiwa G30s 1965
Dua kepentingan besar Amerika Serikat saat datang ke
Indonesia saat itu yaitu pertama
Amerika Serikat berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia
saat itu yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis agar kembali
ke pangkuan barat. Kedua, menjaga kepentingan ekonomi Amerika
Serikat melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan jika
memungkinkan, memperluasnya. Untuk
mencapai dua misi itu, Amerika Serikat punya kepentingan untuk menghancurkan
PKI. Sebab PKI merupakan kekuatan
politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik Amerika Serikat di
Indonesia. Kepentingan Amerika Serikat
selanjutnya yaitu menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih
sejalan dengan kepentingan barat.
a.
Pra G30S 1965
Sebelum
peristiwa G30S 1965, Amerika Serikat sudah melakukan sejumlah aksi untuk
membendung laju komunisme, politik luar negeri non-blok dan rencana-rencana
pembangunan di Indonesia. Salah satunya
adalah keterlibatan Amerika Serikat dalam menyokong militer kanan dalam
pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1950-an.
Selain itu, Amerika Serikat juga bekerjasama dengan sejumlah intelektual
berorientasi barat di Indonesia yang kecewa dengan pembubaran Demokrasi
Parlementer. Selain itu, pemerintah Amerika
Serikat, lembaga-lembaga kemanusiaannya dan lembaga seperti Bank Dunia mencoba
‘merayu’ Soekarno untuk menerima bantuan militer, ekonomi dan teknis. Harapan Amerika Serikat untuk membawa
Indonesia ke pangkuan barat benar-benar pupus begitu Soekarno melancarkan
konfrontasi terhadap Federasi Malaya (federasi bentukan Inggris). Di sisi lain, politik luar negeri Indonesia
makin merapat ke Cina.
Pada
Agustus 1964, Amerika Serikat memulai operasi-operasi rahasia untuk
menggulingkan Soekarno dan memancing konflik yang tajam antara Angkatan Darat
(AD) dan PKI. Saat itu, pihak intelijen
Amerika Serikat menyimpulkan bahwa kekusaan Presiden Soekarno mustahil dilawan
selama dia masih hidup, “kecuali, tentu saja, jika beberapa teman kita ini
mencoba menggulingkannya.” Inggris juga
mengikuti langkah serupa tahun 1964. Bahkan,
Asisten Menteri Luar Negeri Inggris, Edward Peck mengisyaratkan bahwa ‘ada
peluang besar untuk mendorong timbulnya suatu kudeta prematur oleh PKI selama
Soekarno masih hidup.’
Awal
tahun 1965, ada peristiwa yang membuat Amerika Serikat dan barat makin tidak
sabar untuk menghajar PKI dan menggulingkan Soekarno. Pertama,
keputusan Soekarno menarik Indonesia keluar dari PBB. Kedua,
para pekerja Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) yang berada
di bawah kendali PKI untuk merebut perkebunan-perkebunan yang dimiliki oleh US
Rubber Company di Sumatera Utara. Pada
saat bersamaan, Februari 1965 Presiden Soekarno, Waperdam III Soebandrio dan
Menteri Perkebunan Frans Seda menyampaikan kepada perwakilan Uni Soviet Rubber
Company dan Goodyear, bahwa pemerintah (Indonesia) mengambil “kendali administrative” atas
perkebunan-perkebunan karet milik asing dan mendukung pengambil-alihan properti
milik barat.
Amerika
Serikat tentu gerah dengan aksi-aksi tersebut. Karena itu, pejabat Amerika Serikat segera
memperingatkan “Soekarno dan para komandan militer sudah kami beritahu bahwa
begitu terjadi sesuatu yang mengisyaratkan adanya campur tangan terhadap
kendali atas Caltex, pengeboran minyak dari Indonesia akan dihentikan.” Ini ancaman yang serius. Maklum, jika pengeboran minyak dihentikan,
ekonomi Indonesia makin lumpuh.
Peristiwa yang menarik ketika merespon situasi di Indonesia, terutama
politik konfrontasi Soekarno terhadap federasi Malaysia, Inggris
mempertimbangkan untuk memecah Indonesia menjadi negara-negara kecil.
Pada
Februari 1965, CIA mengusulkan untuk memperluas cakupan operasinya di
Indonesia, termasuk hubungan rahasia dengan kelompok-kelompok anti-komunis, black letter operation,
operasi media, termasuk kemungkinan aksi ‘radio hitam’ dan politik hitam di
dalam lembaga-lembaga politik di Indonesia.
Dari
uraian di atas, Amerika Serikat dan sekutunya memainkan peran besar dalam
memprovokasi situasi di Indonesia. Dugaan
bahwa Amerika Serikat dan sekutunya turut bermain dalam isu “Dewan Jenderal”
dan “Dokumen Gillchrist” sangat mungkin terjadi. Provokasi-provokasi itu bermakna dua hal
yaitu pertama, memancing
pendukung Soekarno termasuk PKI dan Angkatan Bersenjata untuk melancarkan operasi
kontra-kudeta yang premature, kedua
mempertajam peruncingan antara sayap kiri (Soekarno, militer progressif dan
PKI) melawan sayap kanan (AD, Masyumi, PSI, dll).
b.
Peristiwa G30S 1965 dan Pembantaian Massal
Gerakan
prematur yang dilancarkan oleh sekelompok Angkatan Darat (AD) untuk
menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal yang ironisnya memperlihatkan Biro
Khusus PKI merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh Angkatan Darat yang
anti-komunis dan sekutu internasionalnya (negara-negara kapitalis). Dengan itu dapat disimpulkan bahwa G30S
dijadikan dalih atau justifikasi bagi Soeharto, Angkatan Darat dan pendukung
internasionalnya untuk melakukan pembasmian terhadap PKI.
Begitu
G30S dipatahkan, tanggal 1 Oktober 1965 pejabat Washington tidak bisa
menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kemungkinan Angkatan Darat tidak
menggunakan peluang itu untuk menumpas habis PKI. Kabel CIA tertanggal 17 Oktober 1965
menunjukkan “CIA memperingatkan bahwa Angkatan Darat boleh jadi cukup puas
dengan hanya melakukan tindakan terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pembunuhan
Jenderal dan membiarkan Soekarno memperoleh kembali sebagian besar
kekuasaannya.”
Dubes
Inggris di Indonesia, Andrew Gilchrist menyerukan dilakukannya “propaganda dini
yang (direncanakan) secara hati-hati dan aktivitas perang urat syaraf guna
memperburuk perselisihan di dalam negeri (Indonesia) dan memastikan pembasmian
dan penghalauan PKI oleh tentara Indonesia.”
Telegram Kedubes Amerika Serikat tanggal 5 Oktober 1965 mengatakan
“pemerintah Amerika Serikat, Inggris dan Australia berusaha membantu Angkatan Darat
dengan menciptakan propaganda mengenai kesalahan,
penghianatan dan kekejaman PKI dan tuduhan mengenai adanya kaitan
antara G30S dengan Cina.” Tanggal 13
Oktober 1965, Menlu Ameirka Serikat Dean Rusk menyimpulkan bahwa sudah tiba
waktunya untuk memberi isyarat pihak militer (Indonesia) mengenai sikap Amerika
Serikat terhadap perkembangan terkini. Menurut
Rusk, bersedia dan tidaknya Angkatan Darat menuntaskan aksinya terhadap PKI
bergantung pada atau harus dipengaruhi Amerika Serikat.
Pada
saat yang sama, ajudan Jenderal Nasution mendekati Dubes Amerika Serikat untuk
meminta bantuan peralatan komunikasi portabel untuk keperluan panglima Angkatan
Darat. Bantuan Kedubes itu menandai
penarikan pengakuan Washington terhadap Soekarno sebagai pemimpin Indonesia yang
sah. Artinya, Washington terang-terang
memaksakan campur tangan untuk mengganti pemerintahan sah di Indonesia.
Segera
setelah itu, mulai terdengar aksi-aksi pembantaian massal nan keji terhadap
anggota dan simpatisan PKI. Pada tanggal
4 Oktober, Kedubes Amerika Serikat melaporkan bahwa RPKAD di daerah komando Jawa
Tengah memberi pelatihan dan senjata kepada pemuda muslim. Di Sumatera Utara dan Aceh, pemuda IPKI dan
unsur-unsur anti komunis mulai dorongan sistematis untuk menumpas PKI. Peristiwa yang menarik yaitu Kedubes maupun
Konsul Amerika Serikat di Indonesia menerima banyak laporan tentang pembantaian
massal terhadap anggota dan simpatisan PKI.
Ironisnya, Amerika Serikat menanggapi pembantaian massal itu dengan
antusias. Malah mengintensifkan bantuan
kepada tentara dan kelompok anti-komunis.
Peristiwa yang paling menyedihkan adalah komentar pejabat Deplu Amerika Serikat,
Howard Federspiel “Tak ada yang peduli jika mereka disembelih, asalkan mereka
komunis.” Dengan keadaan seperti itu
dapat ditarik kesimpulan yaitu pertama,
Amerika Serikat telah mengeksploitasi G30S sebagai justifikasi untuk
menyingkirkan PKI, kedua Amerika
Serikat terlibat dalam mendanai, mengoperasikan dan mengintensifkan pembantaian
massal terhadap orang-orang PKI.
c.
Pasca G30S
Telegram
Kedubes Amerika Serikat tanggal 2 November 1965 mengatakan “negara-negara barat
bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan PKI, melainkan juga
menyingkirkan Soekarno dan pendukungnya.”
Negara-negara barat khawatir selama Soekarno masih berkuasa, Angkatan Darat
akan sulit untuk melakukan perubahan drastis di Indonesia sesuai dengan harapan
Amerika Serikat dan sekutunya. Untuk
itu, pejabat Amerika Serikat mulai memikirkan untuk bagaimana membantu Angkatan
Darat menyingkirkan Soekarno.
Salah
satu aksi paling efektif yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutunya untuk
menjatuhkan Soekarno adalah memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Langkah yang menyerupai perang ekonomi ini mempunyai
makna membuat pemerintah Soekarno terjepit dengan mengarahkannya pada posisi
kebangkrutan, menciptakan ketidakpuasan populer dikalangan rakyat terhadap situasi
ekonomi yang memburuk.
Perang
ekonomi itu cukup efektif. Di awal 1966,
ekonomi Indonesia di ujung keruntuhan. Ini
dipakai oleh Angkatan Darat dan mahasiswa kanan untuk mendesakkan aksi-aksi
menuntut penurunan harga dan mengeritik kegagalan ekonomi Soekarno. Paling ironis sekaligus benar-benar licik
adalah upaya mengalihkan sumber-sumber devisa Indonesia yang seharusnya masuk
ke Bank Sentral, justru masuk ke kantong Soeharto dan kelompoknya. Pada Februari 1966, Caltex tidak lagi
membayar kepada Bank Sentral Indonesia, melainkan kepada rekening tak bernama
di Belanda. Ironisnya, Menteri
Perkebunan Frans Seda membuat aturan serupa terhadap perusahaan perkebunan Amerika
Serikat yang lain seperti Goodyear, Uni Soviet Rubber, dll. Ini membuat Soekarno benar-benar terjepit.
Dengan
situasi ekonomi yang memburuk, ditambah aksi-aksi mahasiswa kanan yang disokong
oleh Angkatan Darat dan didanai Amerika Serikat atau sekutunya, popularitas
pemerintahan Soekarno merosot. Hingga
akhirnya kekuasaannya dicolong oleh Soeharto pada bulan Maret 1966. Segera setelah kendali kekuasaan sudah di
tangan Soeharto atau militer, Amerika Serikat dan sekutunya mulai merancang
transisi di indonesia, termasuk mendesakkan paket-paket ekonomi untuk
mengembalikan Indonesia sebagai ‘pejalan kapitalisme barat’. Pada tahun 1967, disahkanlah UU Penanaman
Modal Asing (PMA) yang sesuai dengan kehendak negara-negara kapitalis barat. Lembaga-lembaga imperialis seperti IMF, Bank
Dunia, IGGI dan LSM-LSM turun tangan untuk membantu Soeharto menata
kekuasaannya dan model ekonominya agar benar-benar terbuka bagi kepentingan
barat.
Dalam
penyusunan UU PMA, misalnya Amerika Serikat mengerahkan konsultan untuk
membantu Widjoyo Nitisastro, seorang ekonom pro-barat untuk menyusun UU
tersebut. Setelah selesai, draftnya
diserahkan ke Kedubes Amerika Serikat untuk dimintai komentar akan perlunya
perbaikan-perbaikan dari pihak investor Amerika Serikat. Lalu, untuk menguji kesetiaan rezim baru
Soeharto terhadap investor asing, maka Freeport yang beroperasi di Papua
sebagai ujian pertamanya. Setelah
investor Freeport sukses, investor-investor asing pun mulai berebut jarahan di
bumi Indonesia.
BAB
3 PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Keterlibatan Amerika
Serikat dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia dalam makalah ini
antara lain meliputi dalam hal keterlibatan Amerika Serikat dalam perpolitikan
di Indonesia. Selanjutnya mengenai
keterlibatan CIA (Amerika Serikat) dalam pemberontakan di Indonesia tepatnya
pada PRRI/ Permesta. Keterlibatan
AmerikaSerikat lainnya dalam pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia yaitu
Amerika Serikat yang juga terlibat dalam kasus pembebasan irian Barat. Keterlibatan Amerika Serikat dalam
pembentukan dan pembangunan Negara Indonesia yang terakhir yaitu keterlibatan
Amerika Serikat dalam Peristiwa G30s pada tahun 1965.
Pada intervensi politik
Amerika Serikat masa revolusi kemerdekaan Indonesia ditandai dengan sebuah
perundingan diplomatik pertama antara Indonesia dan Belanda yang kemudian
dinamakan perundingan Linggajati. Intervensi
Amerika Serikat (CIA) dalam pemberontakan di Indonesia tepatnya pemberontakan
PRRI/Permesta, Amerika
Serikat menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan
Amerika Serikat Subic & Clark), Taiwan dan Korea Selatan sebagai pos suplai
dan pelatihan bagi pemberontak. Intervensi
Amerika Serikat dalam kasus pembebasan Irian Barat diawali dari adanya
kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di berbagai
negara di Asia, temasuk Indonesia. Intervensi
Amerika Serikat dalam hal Peristiwa G30s 1965 didasari dua kepentingan besar,
yang mana untuk mencapai dua misi itu, Amerika Serikat punya kepentingan untuk
menghancurkan PKI. Sebab PKI merupakan
kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik Amerika
Serikat di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
5.http://hankam.kompasiana.com/2014/02/11/indonesia-negara-boneka-siapa-dalangnya-630866.html
makasih kak :)
BalasHapus